Indonesia sedang menghadapi babak baru dalam sejarah iklimnya. Suhu di berbagai wilayah melonjak hingga rekor tertinggi sepanjang dekade terakhir. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melaporkan bahwa beberapa kota di Jawa, Sumatra, dan Nusa Tenggara mengalami peningkatan suhu maksimum harian yang mencapai 37-39 derajat Celsius, sebuah angka yang sebelumnya hanya dicatat pada fenomena ekstrem El Nino kuat.
Fenomena ini bukan sekadar peristiwa sementara, melainkan sinyal mendalam dari perubahan iklim global yang kini mulai "memasuki rumah sendiri". Artikel ini mencoba menelusuri penyebab kenaikan suhu ekstrem di Indonesia dari sisi ilmiah, sosial, dan teknologi-serta bagaimana langkah mitigasi dan adaptasi dapat menentukan masa depan negara tropis terbesar di dunia ini.
Dinamika Atmosfer dan Kenaikan Suhu Global
Kenaikan suhu global yang dialami Indonesia tidak bisa dilepaskan dari tren pemanasan bumi (global warming). Laporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) dalam AR6 menegaskan bahwa suhu rata-rata permukaan global telah meningkat lebih dari 1,1 derajat Celsius sejak masa pra-industri, dan Asia Tenggara termasuk wilayah yang paling cepat memanas.
Bagi Indonesia, faktor pemanasan ini diperkuat oleh karakteristik geografisnya sebagai negara kepulauan tropis yang dikelilingi lautan hangat. Laut yang memanas meningkatkan kelembapan dan suhu udara di atasnya. Ketika sistem tekanan tinggi global terbentuk akibat El Nino atau Indian Ocean Dipole positif, panas tersebut terperangkap di atmosfer dan menghasilkan lonjakan suhu ekstrem.
Fenomena El Nino dan Indian Ocean Dipole
BMKG menjelaskan bahwa tahun 2023-2025 merupakan periode dengan aktivitas El Nino moderat hingga kuat. Fenomena ini mengakibatkan pengurangan curah hujan, peningkatan radiasi matahari, dan pengeringan tanah secara luas di kawasan Indonesia bagian tengah dan timur.
Selain itu, Indian Ocean Dipole (IOD) positif memperkuat kondisi kering dengan menahan uap air di wilayah barat Samudra Hindia, sehingga udara di atas Indonesia menjadi lebih panas dan stabil. Kombinasi dua fenomena ini menciptakan "tekanan panas ganda" yang menjelaskan lonjakan suhu hingga hampir 40 derajat Celsius di beberapa daerah.
Urbanisasi dan Efek Pulau Panas Kota (Urban Heat Island)
Selain faktor alami, urbanisasi masif di Indonesia memperparah kondisi panas. Permukaan beton, aspal, dan atap logam di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan menyerap panas lebih banyak daripada vegetasi alami.