Lembaga riset nasional (BRIN) dan BMKG telah mengonfirmasi peningkatan suhu rata-rata tahunan Indonesia sebesar 0,18 derajat Celsius per dekade sejak 1981. Wilayah barat dan tengah Indonesia, termasuk Jawa dan Sumatra, mencatat laju pemanasan tertinggi.
Pengamatan lapangan menunjukkan bahwa bahkan tanpa El Nino, suhu dasar Indonesia telah meningkat signifikan akibat efek rumah kaca dan perubahan tutupan lahan. Artinya, setiap fenomena iklim ekstrem kini terjadi di atas "fondasi panas" yang lebih tinggi dari kondisi historis.
Krisis Air dan Ketahanan Pangan
Suhu tinggi berdampak langsung pada siklus hidrologi. Penguapan cepat menyebabkan berkurangnya ketersediaan air permukaan, terutama di waduk dan embung pertanian. Beberapa daerah di Jawa Timur, Bali, dan NTT melaporkan kekeringan ekstrem lebih awal dari biasanya.
Kondisi ini berpotensi menekan ketahanan pangan nasional. Menurut laporan BRIN (2025), jika tren suhu dan kekeringan terus berlanjut, Indonesia bisa kehilangan hingga 1,2 juta ton hasil padi per tahun pada 2030.
Aspek Teknologi: Pemantauan dan Solusi Adaptasi
Teknologi menjadi kunci dalam memahami sekaligus menanggulangi krisis panas ini.
a. Pemantauan Satelit
BMKG kini menggunakan teknologi penginderaan jauh (remote sensing) berbasis satelit untuk mendeteksi perubahan suhu permukaan tanah dan laut secara real-time. Data tersebut digunakan untuk model prediksi cuaca ekstrem dan sistem peringatan dini.
b. Smart Agriculture
Penggunaan sensor suhu tanah, sistem irigasi otomatis, dan kecerdasan buatan (AI) dalam pertanian membantu petani menyesuaikan jadwal tanam dengan kondisi cuaca ekstrem.