Mohon tunggu...
Febry S. L.
Febry S. L. Mohon Tunggu... -

Judge me. :)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menjaga Keharmonisan Berbangsa di Tengah Hiruk-pikuk Politik Indonesia

17 April 2014   00:51 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:35 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1397645698643980661

Jokowi, Aburizal Bakrie dan Prabowo

Jokowi. Nama fenomenal yang hampir setiap hari menjadi topik perbincangan media massa nasional dalam dua tahun terakhir sejak dirinya menjadi calon Gubernur DKI Jakarta sampai saat ini. Fenomena ini tidak lain terbentuk dengan sendirinya. Kerinduan rakyat atas figur negarawan baru paska almarhum Gus Dur yang dikenal nasionalis, benteng kaum minoritas dan juga merupakan tokoh agama terhormat membuat bangsa ini menginginkan figur serupa walau tak harus sama dengan Gus Dur.
Setelah Pemilu legislatif 9 April 2014 lalu, berbagai opini mengenai hasil Pemilu dan siapa Presiden RI ketujuh mencuat sangat tajam. Tulisan ini adalah salah satu opini tentang hal tersebut. Bukan tulisan keberpihakan, namun ini lebih kepada pencerahan kepada orang-orang yang butuh dicerahkan pemikirannya mengenai sejarah singkat republik ini. Singkat, karena kalau panjang, kita tidak akan selesai membicarakan republik ini hanya dengan menggunakan blog saja.

Indonesia 1945 - 1967
1945, ketika republik ini memproklamirkan dirinya sebagai bangsa yang merdeka, Soekarno bersama Hatta menjadi orang nomor 1 dan 2 untuk pertama kalinya di Indonesia setelah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) memutuskan Soekarno dan Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Seorang insinyur, berkharisma, pemersatu bangsa dengan buku hasil pemikiran terbaiknya Di Bawah Bendera Revolusi dan juga merupakan salah satu Presiden yang paling disegani di dunia saat itu.
Periode Pemilu yang diikuti beliau hanya satu kali yakni tahun 1955 yang diikuti 29 partai politik. Partai yang dipimpin Soekarno, Partai Nasional Indonesia (PNI), menjadi pemenang Pemilu 1955. Terjadinya peristiwa pemberontakan PKI tanggal 30 September 1965 dengan terbunuhnya 6 jenderal dan 1 kapten ABRI menyebabkan Soekarno diberhentikan dari jabatannya sebagai Presiden RI melalui Sidang Istimewa MPRS di tahun 1967. Ini menjadi awal runtuhnya Orde Lama.
Orde Baru – Stabilitas dan Stabilitas
Tahun 1971 digelarlah Pemilu kedua yang diikuti 8 partai dan 1 Golkar. Di tahun itulah merupakan awal Orde Baru dimulai dan Republik Indonesia mulai dipimpin oleh Jenderal Soeharto yang di masa Orde Lama merupakan Menteri Pertahanan (1966-1967) dan pengemban Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang sampai saat ini masih diperdebatkan isi dari surat yang ditandatangani mantan Presiden Soekarno tersebut. Di periode 1971 sampai Pemilu ketiga (1977), muncullah Undang-undang Nomor 3 tahun 1975 yang ‘merampingkan’ partai politik menjadi hanya dua saja (Partai Persatuan Pembangunan/PPP dan Partai Demokrasi Indonesia/PDI) serta satu Golongan Karya. Golongan Karya memenangkan seluruh Pemilu yang digelar sejak 1977 sampai 1997 (Pemilu terakhir Orde Baru). Jenderal Besar Soeharto, yang juga disebut sebagai Bapak Pembangunan pada masanya, berhasil menciptakan stabilitas keamanan dan politik. Selama memimpin Orde Baru bisa dikatakan tidak ada ancaman keamanan yang berarti. Disokong oleh militer yang loyal, Soeharto juga berhasil menjadi salah satu Presiden yang disegani di dunia. Programnya seperti GBHN, P4, Pelita dan lainnya menjadi salah satu mata rantai untuk mengukuhkan persatuan di antara keberagaman rakyat Indonesia yang multi-ras, etnis, agama dan golongan.
Namun, selama masa kepemimpinannya, rakyat Indonesia tidak memiliki kebebasan seperti layaknya negara yang menjunjung demokrasi seperti tercantum dalam UUD 1945. Berbagai produk perundang-undangan, peraturan dan keputusan dikeluarkan untuk mengamankan kekuasaan yang saat itu berimbas munculnya letupan-letupan kecil di tengah kelompok diskusi mahasiswa dan beberapa tokoh yang bergerak secara diam-diam dan terorganisir.
Orde Baru juga tidak lupa memberikan shock-therapy kepada semua yang mencoba menghadang kekuasaannya. Sebut saja tragedi Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) 1974, peristiwa Tanjung Priok, DOM di Aceh, pembredelan media ‘kritis’, kasus Penembak Misterius (Petrus) dan lainnya yang mengakibatkan rakyat takut untuk bergerak dan bersuara dengan bebas. Dalam hal ini, Pangkopkamtib menjadi penanggungjawab atas banyak kejadian 'penertiban' secara sepihak di negara ini.
Dikekang terus-menerus tentunya membuat rakyat semakin jengah, hingga hal ini memuncak ketika menjelang Pemilu 1997 atau tepatnya setahun sebelumnya, PDI mulai berani menyuarakan identitas aslinya dengan menolak hasil keputusan pemerintah yang mengesahkan Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI pada masa itu. Di bawah kepemimpinan Megawati Soekarnoputri, PDI tandingan ini mulai dianggap sebagai ancaman atas Orde Baru. Loyalis Megawati yang saat itu merasa diintimidasi oleh Orde Baru, bertahan dengan menguasai kantor pusat DPP PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Puncaknya adalah, markas tersebut diserang oleh PDI pro-Soerjadi dan dibakar oleh massa. Peristiwa inilah yang kemudian dikenal sebagai peristiwa 27 Juli 1996.
Pentingnya peristiwa ini dalam perpolitikan bangsa Indonesia adalah benar adanya. Setelah peristiwa tersebut, penculikan dan penangkapan aktivis-aktivis politik dari kelompok politik penentang Orde Baru (bahkan pada saat itu banyak yang disebut sebagai organisasi radikal dan komunis) banyak dilakukan oleh pasukan misterius. Dan ini menjadikan Pemilu tahun 1997 menjadi Pemilu paling menegangkan sepanjang masa kekuasaan Orde Baru, ditambah dukungan masyarakat semakin menebal kepada PDI bentukan Megawati yang  saat ini dikenal sebagai PDI-Perjuangan.
Setelah Presiden Soeharto kembali terpilih, krisis moneter melanda perekonomian Asia. Hutang yang menumpuk akibat program swastanisasi/privatisasi yang tidak terkendali menyebabkan mata uang Rupiah terperosok ke titik terendah dengan mencapai Rp. 17.000/dollar AS di tahun 1998. Perekonomian yang terlihat maju, ternyata hanyalah mimpi semu yang mengakibatkan tingkat kepercayaan pasar turun sampai angka nol.
Krisis moneter dan gejolak politik dalam negeri membuat Orde Baru semakin kehilangan taringnya. Aksi mahasiswa besar-besaran mulai menjamur di kampus-kampus. Orde Baru yang selama ini berhasil meredam para kaum intelektual muda ini, akhirnya tidak tahan juga. Alih-alih menertibkan para mahasiswa, tentara bersama kepolisian secara membabi-buta menembaki para mahasiswa yang sedang memaksa keluar dari Universitas Trisakti untuk berdemonstrasi menuju Gedung DPR/MPR tanggal 12 Mei 1998. Empat mahasiswa tewas tertembak. Kerusuhan massa terjadi esok harinya dan merata terjadi di hampir seluruh kota besar di Indonesia. Kerusuhan yang juga mengarah kepada sentimen anti-etnis tertentu ini juga menyebabkan ribuan orang tewas sia-sia. Tokoh-tokoh politik bermunculan ke permukaan dan ramai-ramai meneriakkan reformasi. Di masa ini, isu-isu negatif, tuduhan penunggangan aksi mahasiswa sampai isu komunis merebak. Namun, rakyat yang saat itu tengah geram dengan arogansi Orba kepada anak-anak muda pejuang reformasi sudah tidak bisa lagi dipengaruhi isu-isu semacam itu. Puncaknya, kegagalan Soeharto mengatasi krisis yang menghantam Orde Baru diakhiri dengan pengunduran dirinya sebagai Presiden RI tanggal 21 Mei 1998. Walaupun berkali-kali diupayakan untuk diadili, sampai meninggal dunia, Soeharto tidak tersentuh hukum sama sekali.
Runtuhnya Orde Baru, Dimulainya Era Reformasi
Wakil Presiden saat itu, B.J. Habibie menggantikan Soeharto untuk membentuk pemerintahan transisi sampai Pemilu yang baru digelar. Namun, Sidang Istimewa MPR 1998 memutuskan untuk Pemilu digelar tahun 1999.
Euforia terjadi. Setidaknya 48 partai politik langsung mengikuti ajang pertarungan politik terbesar paska Orde Baru runtuh.
Pemilu 1999 dimenangkan oleh PDI-Perjuangan, diikuti Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan. Tak disangka, PDI-Perjuangan gagal meraih kekuasaan eksekutif. Terpaan isu ‘asal jangan pemimpin wanita’ yang digalang Poros Tengah (koalisi partai-partai Islam) galangan Amien Rais meruntuhkan suara dukungan bagi Megawati untuk menjadi Presiden RI keempat. Almarhum K.H.Abdurrahman Wahid atau dikenal dengan Gus Dur menjadi Presiden RI setelah memenangkan voting yang dilakukan di pemilihan presiden tahun 1999 di Gedung DPR/MPR dan Megawati terpilih menjadi Wakil Presiden RI.
Di tengah perjalanannya menjadi Presiden RI, Gus Dur mengalami banyak hambatan. Mulai dari skandal Bulog-gate dan Brunei-gate, konflik dengan TNI, pencopotan beberapa menteri,konflik di Maluku (pertikaian antar-agama) hingga terjadi serangan bom terhadap gereja di Jakarta dan delapan kota lain di Indonesia.
Tumbangnya Sang Negarawan Humanis
Di tengah ketidakpercayaan yang mulai terbangun di masyarakat atas kepemimpinannya, Gus Dur masih banyak melakukan hal-hal yang benar-benar membawa perubahan saat ini. Dengan memutuskan Tahun Baru Cina sebagai hari libur nasional, pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa hingga penandatanganan nota kesepahaman dengan GAM.
Dengan memiliki banyak ‘musuh politik’ dalam kabinetnya serta tidak adanya dukungan dari TNI, ini menyebabkan Gus Dur diberhentikan melalui Sidang Istimewa MPR tahun 2001. Di saat itu pulaMegawati Soekarnoputri yang saat itu menjadi Wakil Presiden naik menjadi Presiden RI. Dengan voting di dalam Sidang Istimewa MPR tersebut, Hamzah Haz yang sebelumnya diberhentikan oleh Gus Dur dari jabatannya sebagai Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat naik menjadi Wakil Presiden RI hingga masa kepemimpinan Megawati yang berakhir di 2004.
Era Megawati Paska Sidang Istimewa MPR 2001
Naik sebagai Presiden RI kelima bukanlah perkara mudah paska dicabutnya mandat Gus Dur sebagai Presiden RI keempat oleh MPR. Berbagai macam kekacauan keamanan (Poso, Ambon dan Sampang), kondisi perekonomian yang tidak kunjung stabil, konstelasi politik yang tinggi dan korupsi yang merajalela sangat tidak kondusif untuk mendukung kebijakan-kebijakan Megawati sebagai penyelenggara negara waktu itu. Berbagai perubahan segera dilakukan dengan membentuk Kabinet Gotong Royong yang mewakili banyak partai dan diisi oleh profesional-profesional terpilih. Pemerintahan Megawati juga berhasil membentuk lembaga yang bertugas menangani kasus korupsi, yang kini dikenal dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Didorong oleh IMF, kebijakan privatisasi beberapa BUMN yang harus dilakukan juga berhasil menekan inflasi yang saat itu cukup tinggi (termasuk privatisasi Indosat yang saat itu dengan hutangnya yang menumpuk sangat merugikan negara) dan juga di periode ini Megawati berhasil menaikkan kinerja ekspor dan impor, memberikan otonomi kepada daerah untuk membangun daerahnya secara mandiri, menghentikan kontrak Caltex di Blok Natuna (yang kemudian disambung kembali oleh pemerintahan SBY-JK dan diberikan kepada ExxonMobile), menghentikan kontrak pertambangan migas Caltex di Riau daratan (yang juga disambung kembali oleh pemerintahan SBY-JK dan diberikan kepada Chevron). Namun, pemerintahan Megawati sempat goyah akibat lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan ke Malaysia serta banyak yang menganggap pemerintahan Megawati gagal menuntaskan agenda reformasi. Salah satu poin penting yang patut dicatat, di pemerintahan Megawati terjadi kasus terorisme yang terbesar dalam sejarah bangsa ini yaitu tragedi bom Bali. Kewaspadaan militer dalam mengawasi keamanan negara kembali dipertanyakan di sini.
Di tahun 2004, figur Megawati menghadapi kampanye hitam. Beberapa analisa menyebut ini akibat dari tindakan pemerintahan Megawati yang memenjarakan Akbar Tanjung dan belasan jenderal karena terjerat berbagai macam kasus.
Presiden SBY dan Era Keterbukaan Informasi
Alhasil, tahun 2004, PDI-Perjuangan mengalami kekalahan dari partai Demokrat besutan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang diikuti keberhasilan SBY menjadi presiden RI keenam dengan didampingi oleh Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden.
SBY jugalah, sejak tumbangnya Orde Baru, yang berhasil menjadi Presiden RI selama dua periode berturut-turut. Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh SBY banyak menekankan kepada stabilitas perekonomian dan politik. Ini menjadi wajar, mengingat SBY adalah doktor dalam bidang perekonomian dan purnawirawan Jenderal TNI. Pemerintahan SBY berhasil menekan angka terorisme di medio kepemimpinannya dengan melakukan sejumlah penangkapan atas gembong-gembong teroris kakap. SBY juga berhasil mengatasi ketimpangan perekonomian di beberapa daerah tertinggal dan menerapkan banyak kebijakan yang pro-ekonomi kerakyatan. Namun, di akhir periode kedua masa kepemimpinannya, SBY dan partainya mulai kehilangan pamor seiring banyaknya kader dari partai Demokrat yang ditangkap oleh KPK termasuk Ketua Umum-nya sendiri, Anas Urbaningrum, yang diduga terkait penyalahgunaan dana pembangunan kompleks olahraga Hambalang.
Di tengah krisis kepercayaan masyarakat terhadap dirinya, SBY berhasil menjaga performanya sebagai presiden yang tetap konsisten dengan penegakan hukum dengan tanpa pandang bulu. Keterbukaan informasi dan kemudahannya juga dipelopori oleh SBY dengan membuka akses komunikasi sebanyak-banyaknya dengan rakyat Indonesia dengan membuka layanan SMS Presiden (nomor 9949) dan diikuti dengan merilis akun Twitter pribadinya untuk membuka kesempatan bagi masyarakat berinteraksi dengannya melalui jejaring sosial.
Kemana PDI-Perjuangan saat SBY memimpin? Konsistensinya bersama partai Gerindra untuk menjadi oposisi selama 10 tahun menuai hasil di Pemilu 2014.
Pemilu 2014 dan Prediksinya
Membaca peta politik paska-SBY adalah susah-susah gampang. Susah karena paska Pemilu legislatif 9 April 2014 lalu pembagian suara rakyat hampir dibilang merata ke 10 partai politik di Indonesia. Gampang karena keterbukaan informasi saat ini jauh lebih maju ketimbang tahun 2009 lalu.
Setelah PDI-Perjuangan kembali memimpin Pemilu 2014 diikuti dengan Partai Golkar dan disusul Partai Gerindra, percaturan politik semakin mengerucut. Tiga calon Presiden RI ketujuh telah jelas. PDI-Perjuangan mengusung Joko Widodo (saat ini Gubernur DKI Jakarta), Partai Golkar mengusung Aburizal Bakrie (Ketua Umum Partai Golkar) dan Partai Gerindra mengusung Prabowo Subianto (Ketua Umum Partai Gerindra).
Secara merata, saat ini Jokowi menjadi salah satu kandidat presiden paling diunggulkan. Mengapa? Karena Jokowi adalah figur paling bersih (KKN) dan terbukti sepak-terjangnya sebagai pemimpin masyarakat (bukan perusahaan atau kelompok) yang majemuk dari berbagai golongan, ras, suku dan agama dan orang yang benar-benar baru dalam percaturan politik paska Orde Baru.
Walau secara umum strategi ekonomi Jokowi belum teruji, namun pesaingnya pun belum memiliki rekam jejak yang sama dalam penerapan kebijakan dan strategi ekonomi. Lain halnya, kalau, SBY masih ikut dalam persaingan kursi Presiden. Mengingat SBY telah berpengalaman dalam penentuan arah kebijakan ekonomi bangsa.
Masalah yang muncul adalah ketika munculnya dua pesaing Jokowi yang dulunya adalah bagian dari struktur kekuasaan Orde Baru. Yang satu memiliki rekam jejak sebagai bagian dari birokrat industri perdagangan di masa Orde Baru, yang satu memiliki rekam jejak sebagai bagian dari periode kelam militer di masa Orde Baru.
Tidaklah sulit untuk mencari rekam jejak ketiga kandidat tersebut di internet. Bahkan dengan terbukanya informasi seperti era sekarang ini, hal-hal yang tersembunyi dapat dengan mudah terungkap di media jejaring sosial.
Kembali ke pemetaan kekuatan politik ketiga kandidat, paska Pemilu legislatif 2014, Jokowi tetap memiliki elektabilitas paling tinggi dari ketiganya, walau PDI-Perjuangan tidak mendapatkan suara mencapai 27% seperti targetnya sebelum Pemilu 2014 lalu. Hal ini didukung oleh banyaknya survey elektabilitas atas para calon presiden yang dirilis oleh lembaga survey yang diakui kredibilitas dan independensinya.
Harapan Rakyat Indonesia
Apakah kalau menang dalam pemilihan Presiden cukup? Tidak. Kita sebagai warga negara, kandidat pilihan kita kalah atau menang, kita wajib, sekali lagi wajib, mendukung kebijakan Presiden RI sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi di negara ini dan membantu mengawasi jalannya roda pemerintahan.
Ketakutan justru muncul ketika rival politik tak kasat mata dari Jokowi, yang saya prediksi tidak akan berbeda jauh dengan rival politik masa pemerintahan Gus Dur dan Megawati. Malah, beban Jokowi akan semakin berat mengingat PDI-Perjuangan baru-baru ini dianggap ‘mengkhianati’ partai Gerindra tentang pencalonan Jokowi sebagai Presiden di 2014 ini.
Bila menilik lagi ke bagian atas tulisan ini, ketakutan atas 'penggembosan' itu wajar, mengingat Jokowi adalah seorang sipil, masih minim pengalaman politik dan tidak banyak ‘bersekutu’ dengan jenderal-jenderal baik yang aktif maupun yang purnawirawan. Di sinilah peran Megawati sangat diharapkan. Megawati diharapkan bisa menyatukan seluruh kekuatan yang ada di dalam partai yang dipimpinnya, memberikan pelajaran tentang pengalamannya sebagai Presiden dan menjaga kadernya mencapai tujuan pemerintahan yang baru sampai pada 2019 tanpa ada hambatan yang berarti. Hambatan itu tidak hanya dari dalam negeri, tapi juga luar negeri.
Jokowi juga diharapkan harus bisa menempatkan dirinya, apabila terpilih, sebagai Presiden seluruh rakyat Indonesia dan dicintai. Penegakan hukum yang tanpa pandang bulu, menggandeng militer sebagai partner dalam menjalankan kebijakan negara secara umum, kebijakan ekonominya harus berpihak kepada rakyat, memperhatikan provinsi-provinsi di bagian barat dan timur negara ini, fokus kepada pembangunan daerah-daerah di perbatasan negara, meningkatkan hubungan dagang antar-negara, meningkatkan kualitas pendidikan sampai tingkat akademi/universitas, memperhatikan kesejahteraan tenaga kerja (TKI dan pekerja dalam negeri), menguatkan stabilitas keamanan dan jati diri bangsa sebagai bangsa yang berwibawa dan tegas, memperkuat nasionalisme dengan tidak berpihak kepada golongan tertentu dan terus mengabdikan dirinya secara rutin meninjau kondisi perekonomian rakyat Indonesia.
Banyak sekali yang harus dibenahi di negara ini. Tapi dalam tulisan ini saya percaya, sekalipun Jokowi tidak terpilih sebagai presiden, saya dan kalian atau siapa pun yang mengerti dan paham berbahasa satu, bahasa Indonesia, sepakat bahwa persoalan bangsa ini tidak selesai sampai Presiden RI ketujuh terpilih. Dan yakinlah, masih ada terbersit harapan di setiap kita yang berkompetisi saat percaturan politik ini memanas, bahwa sudah cukup bangsa ini terus dijadikan alat untuk dipermainkan oleh para politisi jahat yang terus mengkondisikan negara ini menjadi negara yang tertinggal.
Percaya atau tidak, kita rakyat Indonesia menginginkan negara ini kembali menjadi negara kuat dan bermartabat. Dan negara yang kuat dan bermartabat adalah negara yang tidak pernah melupakan sejarah yang telah dicatat oleh para pendahulunya.
Merdeka!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun