Mohon tunggu...
Febri Ramadani
Febri Ramadani Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi dan Kegagapan Media

13 September 2018   01:46 Diperbarui: 13 September 2018   01:56 628
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Suatu pandangan menyatakan bahwa demokrasi akan dan harus di pahami sebagai sesuatu yang "in potentia" yaitu sesuatu yang belum sampai,belum matang, dan masih mengupayakan terjadinya. bukan di pandang sebagai sesuatu yang "in actu" yaitu sesuatu yang sudah sampai, sudah matang, serta telah tercapai, sehingga kritik -- kritik harus di berikan guna merancang arah baru demokrasi yang tangguh dengan salah satunya adalah media massa

Kita ketahui bahwa media/pers adalah salah satu pilar demokrasi, pilar adalah tiang penguat dan sudah semestinya media menjadi tiang yang kokoh lagi kuat terhadap demokrasi.

Dari sejarahnya, media mendapat tempat istimewa pada masa presiden BJ Habibie setelah sebelumnya media dikuasai dan dicengkram oleh keukatan otoriter ala orde baru. Satu sisi kebebasan itu di sambut meriah oleh sebagian orang tapi di sisi lain justru ada yang menghawatirkan dengan alasan kebebasan itu merupakan boomerang bagi demokrasi.

Media, dalam pemberitannya harusnya di tujukan untuk kepentingan publik sekaligus memberi pelajaran dan tranparansi kepada masyarakat tentang suatu kegentingan maupun ke khawatiran untuk urusan publik. Akhir - akhir ini saya merasakan adanya pemberitaan yang simpang siur dan kebenarannya masih di ragukan  bahkan judul nya seolah olah semacam provokasi padahal substansi nya tidak bersangkutpaut dengan judul tersebut. 

Kita seakan akan disodorkan sesuatu yang terlalu banyak versi sehingga masyarakat terkecoh dan bingung mana berita yang benar dan mana yang salah.  Di tengah masyarakat indonesia yang tingkat literasi nya masih rendah dan tidak sedikit pula yang membaca berita dari judulnya saja, maka hal itu akan sangat berbahaya bagi demokrasi karena di kalangan masyarakat bisa jadi bersiteru ingin membenarkan apa yang hanya di baca nya dari satu media tanpa melakukan cek terhadap kebenarannya sehingga apabila bertemu dan diskusi dengan orang lain akan menyebabkan perkelahian, bahkan politisi pun melakukan hal yang sama.

Dalam urusan publik, harusnya media dapat melakukan filterisasi dalam melakukan pemberitaan khususnya filter terhadap urusan publik dan privat, semisalnya ketika presiden jokowi menjadi imam dalam solat berjamaah, itu adalah ranah privat presiden yang menurut saya tidak ada kaitan sama sekali dengan kebijakan publiknya sehingga tidak perlu di lakukan dalam pemberitaan yang di tujukan untuk urusan publik.  

Apalagi jika di lihat pada tahun politik ini tidak sedikit orang mengaitkan hal hal privat tersebut untuk urusan pemilu yang akan datang guna menaikkan elektabilitas dan diketahui juga pemilik media-media besar berada di barisan pendukung petahana. Merujuk pada pendapat Noam Chomsky " publik di kecoh dengan pantulan bayang -- bayang kepentingan privat di layar kaca seolah -- olah itu adalah kepentingan publik.

Saya berharap presiden jokowi memberikan pernyataan kepada media untuk melakukan filterisasi terhadap kebenaran suatu berita serta menekankan  untuk melakukan tugasnya dengan independen supaya media tetap jadi penguat dalam demokrasi ,jika tidak saya akan melihatnya sebagai tujuan popularitas guna mendongkrak elektabilitas.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun