Aku tersenyum. Tapi hati bergetar. Karena tidak banyak orang yang pernah berkata begitu padaku.
Sepulangnya, aku merasa bersalah. Tapi bukan karena dosa. Melainkan karena aku tahu, ada bagian dari hatiku yang sudah bergerak.
Apakah itu selingkuh?
Aku tidak tahu. Tapi pelukan itu membekas. Dan sejak saat itu, aku mulai bicara lebih jujur dengan pasanganku. Tentang rasa yang hilang, tentang kebutuhan untuk dihargai bukan hanya sebagai mitra rumah tangga, tapi sebagai individu yang butuh dirayakan.
Kami mulai bicara lebih dalam. Kadang tak nyaman. Tapi nyata.
Pelukan itu mungkin tidak bisa “diobati.” Tapi ia adalah gejala. Dari sesuatu yang sudah lama kosong. Dan selingkuh, bagiku, bukan hanya soal menyentuh tubuh orang lain. Tapi soal memberi tempat di dalam hati yang seharusnya dijaga bersama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI