Mohon tunggu...
H Febriyanto Chrestiatmojo
H Febriyanto Chrestiatmojo Mohon Tunggu... Penulis

Menyajikan artikel berisi tips-tips yang relevan dengan isu dan tema pilihan saat itu—dengan gaya reflektif, aplikatif, dan mengundang dialog.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pelukan di Kantor yang Terlalu Lama

20 Juli 2025   13:00 Diperbarui: 20 Juli 2025   11:38 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: pelukan, Sumber: Freepik.com

Aku masih ingat pagi itu. Ruang meeting kantor kami dipenuhi aroma kopi sachet dan suara printer yang sesekali berderak dari ruang sebelah. Presentasiku baru saja selesai, dan semua orang memberikan tepuk tangan kecil, cukup sopan tanpa berlebihan.

Lalu datang Reza, kepala divisi. Ia berdiri, berjalan pelan mendekatiku, dan dengan senyum hangat berkata, “Itu luar biasa. Kamu menyelamatkan hari ini.”

Tangannya membuka, mengundang pelukan.

Karena budaya di kantor kami cukup cair dan kolegial, aku menyambut. Pelukan itu berlangsung... lama. Lebih lama dari biasanya. Tidak melewati batas fisik yang jelas, tapi cukup untuk membuatku menggigit bibir dan bertanya-tanya: apakah itu hanya apresiasi? Atau ada makna lain?

Sejak saat itu, aku mulai memperhatikan gerak-gerik kami. Reza selalu ramah, tapi aku jadi peka. Setiap kali ia berdiri terlalu dekat, setiap tatapan yang bertahan sedetik lebih lama, terasa seolah menyimpan sesuatu. Sesuatu yang samar, tapi nyata.

Aku tak pernah membalas secara eksplisit. Tapi aku juga tidak menghindar. Kadang aku berdiri lebih lama saat kami ngobrol di pantry. Kadang aku menanyakan kabarnya lebih dari rekan kerja lain. Aku tahu ini bukan profesional. Tapi aku juga tahu, aku merasa dihargai sebagai perempuan—bukan hanya pegawai.

Dan itu membuatku bingung. Di rumah, aku punya pasangan yang stabil. Hubungan kami baik-baik saja. Tapi entah sejak kapan pelukan itu menyentuh ruang yang tidak pernah disentuh pasanganku. Bukan soal tubuh. Tapi tentang rasa. Tentang keintiman yang muncul dari perhatian kecil dan pujian yang tidak terdengar mekanis.

Lalu datang malam lembur itu.

Hanya aku dan Reza, mengerjakan revisi untuk tender. Di antara lembar Excel dan kopi dingin, kami mulai bicara tentang hidup. Tentang tekanan kerja, tentang rutinitas yang menumpulkan rasa. Aku cerita tentang kebiasaan diam-diam menulis puisi di Notes. Dia mendengarkan. Serius. Dengan mata yang tidak sekadar sopan, tapi penuh rasa ingin tahu.

Saat aku hendak pamit, dia menyentuh lenganku. “Kamu harus terus nulis. Kamu punya sesuatu di dalam yang orang lain nggak punya.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun