Mohon tunggu...
Fazil Abdullah
Fazil Abdullah Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis itu berat, Sayang. Kau harus sediakan waktu dan dunia, yang seringnya tidak bersahabat.

Cerpen Perempuan yang Meminta Rokokmu dan Mogok di Hutan mendapat penghargaan dari Kompasiana (2017 dan 2018). _____________________________________________ linktr.ee/fazilabdullah 👈 merupakan pintu masuk menuju dunia karya saya. silakan masuk dan jelajahi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Salah yang Tumbuh

19 Januari 2019   00:48 Diperbarui: 25 Januari 2023   19:12 661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.rumahkeluargaindonesia.com

Ketika membuka pintu rumah, Ibu menyambutku dengan tamparan. Aku baru pulang sekolah. Si Kembar kulihat duduk menunduk di kursi tamu. "Beraninya kau curi uang jajan si Kembar?! Sejak kapan Ibu mengajarimu mencuri?!"

Tatapan Ibu begitu jijik dan benci padaku. Bibirnya miring dan meruncing dan geraham bergemeletuk. Aku tak melawan. Sakit dan darah di bibir masih bisa kuterima dan sembuh kelak. Namun, hatiku masih saja menyimpan sakit yang tak kusadari perlahan tumbuh menjadi benteng hati. Kelak, setiap aku menemui orang tuaku seperti ada benteng di antara kami.

Aku tidak mengambil uang jajan yang biasa diletakkan orang tuaku di meja setiap pagi. Bahkan, uang jajanku pun tak sempat kuambil karena pagi sekali aku berangkat sekolah.

Aku melihat si Kembar. Mereka tidak berani menatapku. Kuyakin, di antara mereka telah bersekongkol mengambil uang jajan dan bahkan jatah jajanku. Entah apa yang telah mereka katakan sehingga Ibu begitu yakin aku telah mengambilnya. Ibu tidak melihat kenyataan yang terjadi. Ibu bias melihat fakta. Ibu melihat perilaku-ku yang telah lalu.

Aku melihat Ibu tak lagi dilihat sebagai anak baik. Aku dilihat sebagai anak yang penuh salah. Akulah anak salah itu sejak mulai memukul si Kembar (karena  merampas mainanku), ketahuan mengambil uang diam-diam di dompet Ayah. Aku digampar Ayah. Di sekolah aku usil pada si Fitri, menyingkap jilbabnya. Menonjok Joni karena mengejekku. Kelak kumengerti, aku marah pada orang tua yang tidak peduli padaku. Orang tua yang tidak bisa menimbang rasa adil pada anaknya, bukanlah orang tua yang membangun rumah di hati anaknya melainkan tempat keasingan dan jarak hati yang tak berbilang pada siapa pun.  

Si Kembar selalu mendapat perhatian lebih dari orang tuaku dan selalu membenarkan si Kembar. Mereka anak yang manis dan imut. Baik. Patuh. Menyenangkan tetangga, guru-guru sekolah, dan teman-temannya. Pintar mengambil hati siapa saja. Mudah membuat orang percaya dan menaruh simpati pada mereka. Kelak, kutahu, ia belajar sifat dan ilmu topeng wajah itu dari Ibu. Aku tidak pernah bisa demikian. Tak bisa kukontrol emosiku.

"Kenapa kamu tidak bisa seperti mereka?"

"Kenapa kamu bisa jauh berbeda?"

Begitu mereka selalu menyalahkan dan menghakimiku. Kelak aku selalu curiga pada wajah manis dan imut.

Usai ditampar, aku masuk kamar tanpa sepatah kata pun. Aku tidak pernah bisa bicara lagi di hadapan orang tuaku. Selalu aku merasa salah. Sampai-sampai aku selalu susah menanggapi orang-orang yang hendak basa-basi denganku.

Si Kembar datang ke kamarku. Si Kembar Kecil memberi tisu. Kutolak. Ia tak peduli penolakanku, duduk di samping ranjang untuk menge-lap darah di sudut bibirku. Si Kembar Besar berdiri dan memberiku rokok. Ia langsung menyulut api rokok yang bertengger di bibirku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun