Pendahuluan
Fenomena merokok di kawasan kampus merupakan isu sosial-lingkungan yang terus berulang meskipun berbagai regulasi telah diterapkan. Di tengah visi perguruan tinggi sebagai ruang belajar sehat dan berwawasan lingkungan, perilaku merokok di area kampus seperti kantin, parkiran, dan taman fakultas masih menjadi pemandangan lazim. Hal ini menggambarkan kesenjangan antara regulasi formal dengan perilaku nyata mahasiswa, serta menunjukkan lemahnya efektivitas komunikasi publik yang seharusnya menjadi jantung dari setiap kebijakan sosial.
Pemerintah sebenarnya telah menegaskan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif, serta diperkuat oleh Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 75 Tahun 2005 dan Nomor 88 Tahun 2010 yang mencakup institusi pendidikan tinggi. Namun, penelitian lapangan menunjukkan bahwa pelaksanaan di banyak kampus, termasuk Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (UPNVJ), masih menghadapi berbagai kendala (Muflihah, 2022).
Masalahnya bukan hanya pada lemahnya penegakan hukum atau kurangnya pengawasan, tetapi juga pada cara kampus menyampaikan pesan dan membangun kesadaran kolektif mahasiswa. Banyak larangan merokok yang hanya ditampilkan melalui spanduk atau papan peringatan tanpa ada komunikasi dialogis, sehingga pesan kehilangan makna dan tidak menggerakkan perubahan perilaku.
Isu ini menjadi penting karena menyangkut tiga dimensi sekaligus: kesehatan, kebersihan lingkungan, dan citra akademik. Asap rokok tidak hanya membahayakan perokok pasif, tetapi juga mencemari udara, meninggalkan puntung rokok sebagai limbah berbahaya, serta merusak citra kampus sebagai ruang belajar sehat. Oleh karena itu, pendekatan komunikasi lingkungan menjadi kunci strategis untuk menjembatani antara kebijakan, perilaku, dan budaya mahasiswa (Cox, 2018).
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: Mengapa kebijakan KTR di kampus tidak berjalan efektif meskipun aturan telah jelas? dan Bagaimana strategi komunikasi lingkungan yang partisipatif dan kreatif dapat menjadi solusi?
Tinjauan Konsep: Teori Komunikasi Lingkungan dan Pendekatan Partisipatif
1. Komunikasi Lingkungan sebagai Instrumen Sosial
Komunikasi lingkungan pada dasarnya adalah proses membangun kesadaran dan tindakan sosial terhadap isu lingkungan. Menurut Cox (2018), komunikasi lingkungan berfungsi tidak hanya menyebarkan informasi, tetapi juga membentuk persepsi publik, mempengaruhi sikap, dan menginspirasi partisipasi masyarakat dalam menjaga lingkungan. Dalam konteks kampus, hal ini mencakup bagaimana universitas, mahasiswa, dan masyarakat sekitar memahami dan menginternalisasi nilai-nilai lingkungan sehat.
Pesan komunikasi yang efektif harus menyesuaikan konteks sosial dan budaya audiens. Dalam hal mahasiswa, pesan yang bersifat otoriter seperti “Dilarang Merokok” sering gagal karena dianggap sebagai bentuk kontrol, bukan ajakan kolaboratif (Pezzullo & Cox, 2017). Oleh sebab itu, komunikasi lingkungan perlu dikemas secara persuasif, kreatif, dan berbasis empati agar menciptakan identifikasi emosional antara pesan dan penerimanya.
2. Teori Perilaku Terencana (Theory of Planned Behavior)
Teori ini, dikembangkan oleh Ajzen (1991), menyatakan bahwa perilaku seseorang sangat dipengaruhi oleh niat (intention), yang terbentuk dari tiga aspek: sikap terhadap perilaku, norma sosial, dan persepsi kontrol diri. Dalam konteks mahasiswa perokok, mereka mungkin memiliki sikap positif terhadap rokok sebagai bentuk gaya hidup atau cara menghilangkan stres. Norma sosial di kalangan teman sebaya juga mendukung perilaku tersebut, sehingga larangan formal dari kampus sering tidak efektif.
Karena itu, komunikasi yang ingin mengubah perilaku harus menyasar ketiga aspek tersebut: mengubah persepsi bahwa merokok adalah “keren”, menggeser norma sosial agar merokok di kampus dianggap tidak etis, serta memperkuat kontrol diri mahasiswa untuk menolak ajakan merokok. Pendekatan berbasis teori ini menjelaskan bahwa larangan administratif saja tidak cukup tanpa transformasi sosial dan psikologis melalui komunikasi yang persuasif (Anderson, 2019).
3. Teori Komunikasi Partisipatif
Servaes (1999) menekankan bahwa komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang partisipatif—di mana masyarakat tidak hanya menjadi objek, tetapi juga subjek dari perubahan sosial. Dalam konteks kampus, mahasiswa harus dilibatkan secara aktif dalam proses komunikasi, mulai dari perumusan pesan hingga pelaksanaan kampanye KTR.
Partisipasi menciptakan rasa kepemilikan (sense of ownership), sehingga mahasiswa merasa bahwa kebijakan tersebut bukanlah “aturan dari atas”, melainkan hasil kesepakatan bersama. Pendekatan ini terbukti efektif dalam banyak program kesehatan publik, seperti kampanye anti-narkoba dan program smoke-free community (Tufte & Mefalopulos, 2009).
Dengan demikian, komunikasi partisipatif dapat menjadi kunci dalam memperkuat budaya kampus sehat, karena menumbuhkan kesadaran yang tumbuh dari dalam komunitas itu sendiri.
Analisis Kasus: KTR UPNVJ dan Tantangan Komunikasi Lingkungan
1. Kesenjangan antara Regulasi dan Realitas
UPNVJ secara resmi telah menjadi bagian dari Kawasan Tanpa Rokok sesuai peraturan pemerintah dan kebijakan internal universitas. Namun, implementasinya masih jauh dari ideal. Masih banyak mahasiswa, dan bahkan sebagian dosen, yang merokok di area publik kampus. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan antara regulasi formal dengan realitas perilaku.
Menurut Muflihah (2022), masalah utama bukan terletak pada kurangnya sosialisasi, tetapi pada lemahnya strategi komunikasi yang digunakan. Informasi tentang larangan merokok hanya disampaikan secara satu arah melalui media statis seperti papan pengumuman dan spanduk. Model komunikasi seperti ini disebut defisit model, yang mengasumsikan bahwa perilaku salah terjadi karena kurangnya informasi. Padahal, mahasiswa tidak hanya butuh informasi, tetapi juga perlu merasakan makna dan relevansi sosial dari kebijakan tersebut (Cox & Depoe, 2018).
Dengan kata lain, komunikasi yang gagal mengundang partisipasi akan sulit menghasilkan perubahan perilaku, karena mahasiswa tidak merasa terlibat dalam proses pembentukan nilai.
2. Resistensi Sosial dan Budaya Rokok
Resistensi terhadap kebijakan KTR sering kali muncul karena larangan dianggap mengekang kebebasan pribadi. Mahasiswa perokok beranggapan bahwa merokok merupakan hak individu yang tidak boleh dibatasi selama tidak mengganggu orang lain. Pandangan ini memperlihatkan adanya benturan antara nilai kebebasan pribadi dengan tanggung jawab sosial (Situmorang, 2020).
Dalam kerangka komunikasi lingkungan, persoalan ini tidak bisa diatasi dengan pendekatan represif. Sebaliknya, dibutuhkan pendekatan dialogis untuk membangun kesadaran bahwa tindakan merokok tidak hanya berdampak pada diri sendiri, tetapi juga pada kualitas udara dan kenyamanan sosial di kampus. Freire (1970) menjelaskan bahwa komunikasi sejati adalah komunikasi yang menumbuhkan kesadaran kritis (critical consciousness), bukan sekadar mengulang pesan normatif.
Oleh karena itu, forum diskusi antar mahasiswa, kegiatan kampanye interaktif, dan ruang dialog terbuka dengan pihak kampus perlu dikembangkan sebagai bagian dari strategi komunikasi yang membangun kesadaran bersama.
3. Hambatan Komunikasi dan Minimnya Kreativitas Media
Kampanye KTR di kampus selama ini masih bersifat formal, kaku, dan monoton. Padahal, mahasiswa generasi Z memiliki karakteristik komunikasi yang berbeda: mereka lebih tertarik pada konten visual, interaktif, dan berbasis pengalaman (experience-based messaging) (Putri, 2023).
Ketiadaan media kreatif seperti video pendek, meme edukatif, influencer campus, atau digital storytelling membuat pesan KTR kehilangan daya tarik. Akibatnya, mahasiswa tidak merasa terhubung dengan pesan tersebut. Selain itu, lemahnya pengawasan di lapangan dan ketiadaan smoking area justru memunculkan psychological reactance (Brehm, 1966)—yakni kecenderungan untuk melanggar aturan yang dianggap mengekang.
Kebijakan yang terlalu kaku tanpa alternatif solutif hanya memperkuat resistensi. Oleh karena itu, strategi komunikasi perlu diimbangi dengan kebijakan adaptif: menyediakan area merokok terbatas di luar ruang utama kampus, sambil tetap menegakkan prinsip KTR di area publik utama.
4. Minimnya Komunikasi Partisipatif dan Kolaborasi
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa mahasiswa jarang dilibatkan dalam perancangan kampanye KTR. Padahal, organisasi kemahasiswaan seperti BEM, UKM, dan Himpunan Jurusan memiliki potensi besar sebagai agen perubahan sosial (Lestari, 2021).
Keterlibatan mahasiswa dalam merancang pesan—misalnya dengan membuat konten kreatif, mural kampus bertema “Kampus Sehat”, atau event Smoke-Free Campus Week—akan membuat kampanye terasa lebih otentik. Pendekatan seperti ini tidak hanya memperluas jangkauan pesan, tetapi juga memperkuat rasa tanggung jawab sosial.
Kolaborasi dengan LSM kesehatan, Dinas Kesehatan, serta komunitas antirokok juga dapat memperluas jangkauan kampanye dan meningkatkan kredibilitas pesan. Sinergi multi-stakeholder ini merupakan bentuk nyata dari komunikasi lingkungan yang integratif dan berkelanjutan (Cox & Depoe, 2018).
5. Dampak Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan
Isu merokok di kampus juga berdampak pada lingkungan fisik. Puntung rokok merupakan salah satu limbah paling berbahaya karena mengandung nikotin dan logam berat yang sulit terurai. Data WHO (2023) menunjukkan bahwa lebih dari 4,5 triliun puntung rokok dibuang ke lingkungan setiap tahun di seluruh dunia, dan sebagian besar berakhir di tanah atau saluran air.
Di lingkungan kampus, limbah puntung rokok dapat mencemari taman dan selokan, serta menambah beban kerja petugas kebersihan. Dengan demikian, kebijakan KTR berkontribusi langsung terhadap Sustainable Development Goals (SDGs) terutama poin 3 (kesehatan yang baik) dan poin 11 (kota dan komunitas berkelanjutan).
KTR bukan hanya kebijakan kesehatan, tetapi juga strategi komunikasi lingkungan untuk membangun kesadaran ekologis di kalangan generasi muda. Ketika mahasiswa memahami bahwa perilaku merokok berkaitan dengan keberlanjutan lingkungan, maka kepatuhan terhadap kebijakan akan meningkat secara alami (Noviana, 2021).
Kesimpulan dan Rekomendasi
Fenomena merokok di kawasan kampus mencerminkan masalah struktural dan komunikasi yang kompleks. Regulasi sudah ada, namun pelaksanaannya belum efektif karena komunikasi yang digunakan bersifat satu arah, normatif, dan tidak melibatkan audiens.
Kebijakan tanpa komunikasi yang partisipatif hanya akan menghasilkan kepatuhan semu, bukan perubahan perilaku yang berkelanjutan. Karena itu, kampus harus memandang komunikasi bukan sekadar alat sosialisasi, tetapi sebagai proses sosial yang membentuk kesadaran dan budaya baru.
Rekomendasi Strategis:
Pendekatan Komunikasi Partisipatif
Libatkan mahasiswa secara aktif dalam perencanaan dan pelaksanaan kampanye. Misalnya melalui student ambassador program atau co-creation campaign agar mahasiswa menjadi bagian dari perubahan, bukan objek larangan.
Kampanye Kreatif Berbasis Generasi Z
Gunakan media sosial seperti Instagram, TikTok, dan YouTube untuk menyampaikan pesan antirokok dengan gaya humor, visual, dan narasi emosional yang sesuai dengan karakter audiens muda.
Kolaborasi Multi-Pihak
Bangun kemitraan antara kampus, LSM kesehatan, dinas pemerintah, dan komunitas mahasiswa untuk memperkuat sinergi pesan dan sumber daya.
Sanksi dan Fasilitasi Seimbang
Terapkan sanksi yang tegas namun tetap menyediakan area merokok khusus agar tidak menimbulkan resistensi. Pendekatan soft enforcement akan lebih diterima oleh mahasiswa.
Evaluasi dan Umpan Balik Berkelanjutan
Kampus perlu mengadakan survei rutin, forum diskusi, dan evaluasi media kampanye untuk memastikan bahwa pesan tetap relevan dan diterima oleh seluruh sivitas akademika.
Dengan menggabungkan teori komunikasi lingkungan, partisipasi sosial, dan inovasi media digital, kampus dapat menjadi role model bagi masyarakat luas dalam mewujudkan lingkungan belajar yang sehat, nyaman, dan berkelanjutan. Komunikasi yang humanis, kreatif, dan partisipatif adalah kunci untuk mencapai visi “Kampus Bebas Asap Rokok 2100”.
Daftar Pustaka
Ajzen, I. (1991). The theory of planned behavior. Organizational Behavior and Human Decision Processes, 50(2), 179–211.
Anderson, A. (2019). Media, environment and the network society. Palgrave Macmillan.
Brehm, J. W. (1966). A theory of psychological reactance. Academic Press.
Cox, R. (2018). Environmental communication and the public sphere (5th ed.). SAGE Publications.
Cox, R., & Depoe, S. P. (2018). Advances in environmental communication: Beyond doom and gloom. Routledge.
Freire, P. (1970). Pedagogy of the oppressed. Continuum.
Lestari, N. (2021). Partisipasi mahasiswa dalam kampanye lingkungan kampus hijau. Jurnal Komunikasi Lingkungan Indonesia, 3(1), 44–58.
Muflihah, S. (2022). Efektivitas kampanye kawasan tanpa rokok di lingkungan perguruan tinggi. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nusantara, 7(2), 112–120.
Noviana, R. (2021). Dampak limbah puntung rokok terhadap kualitas lingkungan perkotaan. Jurnal Ekologi dan Kesehatan, 4(3), 87–96.
Pezzullo, P. C., & Cox, R. (2017). Environmental communication and the public sphere (4th ed.). SAGE Publications.
Putri, A. D. (2023). Strategi komunikasi kampanye kesehatan berbasis media sosial di kalangan generasi Z. Jurnal Ilmu Komunikasi dan Digital Society, 2(2), 101–115.
Servaes, J. (1999). Communication for development: One world, multiple cultures. Hampton Press.
Situmorang, M. (2020). Persepsi mahasiswa terhadap larangan merokok di lingkungan kampus. Jurnal Komunikasi dan Perilaku Sosial, 8(1), 56–70.
Tufte, T., & Mefalopulos, P. (2009). Participatory communication: A practical guide. World Bank Publications.
World Health Organization (WHO). (2023). Tobacco and its environmental impact: An overview. WHO Press.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI