Teori ini, dikembangkan oleh Ajzen (1991), menyatakan bahwa perilaku seseorang sangat dipengaruhi oleh niat (intention), yang terbentuk dari tiga aspek: sikap terhadap perilaku, norma sosial, dan persepsi kontrol diri. Dalam konteks mahasiswa perokok, mereka mungkin memiliki sikap positif terhadap rokok sebagai bentuk gaya hidup atau cara menghilangkan stres. Norma sosial di kalangan teman sebaya juga mendukung perilaku tersebut, sehingga larangan formal dari kampus sering tidak efektif.
Karena itu, komunikasi yang ingin mengubah perilaku harus menyasar ketiga aspek tersebut: mengubah persepsi bahwa merokok adalah “keren”, menggeser norma sosial agar merokok di kampus dianggap tidak etis, serta memperkuat kontrol diri mahasiswa untuk menolak ajakan merokok. Pendekatan berbasis teori ini menjelaskan bahwa larangan administratif saja tidak cukup tanpa transformasi sosial dan psikologis melalui komunikasi yang persuasif (Anderson, 2019).
3. Teori Komunikasi Partisipatif
Servaes (1999) menekankan bahwa komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang partisipatif—di mana masyarakat tidak hanya menjadi objek, tetapi juga subjek dari perubahan sosial. Dalam konteks kampus, mahasiswa harus dilibatkan secara aktif dalam proses komunikasi, mulai dari perumusan pesan hingga pelaksanaan kampanye KTR.
Partisipasi menciptakan rasa kepemilikan (sense of ownership), sehingga mahasiswa merasa bahwa kebijakan tersebut bukanlah “aturan dari atas”, melainkan hasil kesepakatan bersama. Pendekatan ini terbukti efektif dalam banyak program kesehatan publik, seperti kampanye anti-narkoba dan program smoke-free community (Tufte & Mefalopulos, 2009).
Dengan demikian, komunikasi partisipatif dapat menjadi kunci dalam memperkuat budaya kampus sehat, karena menumbuhkan kesadaran yang tumbuh dari dalam komunitas itu sendiri.
Analisis Kasus: KTR UPNVJ dan Tantangan Komunikasi Lingkungan
1. Kesenjangan antara Regulasi dan Realitas
UPNVJ secara resmi telah menjadi bagian dari Kawasan Tanpa Rokok sesuai peraturan pemerintah dan kebijakan internal universitas. Namun, implementasinya masih jauh dari ideal. Masih banyak mahasiswa, dan bahkan sebagian dosen, yang merokok di area publik kampus. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan antara regulasi formal dengan realitas perilaku.
Menurut Muflihah (2022), masalah utama bukan terletak pada kurangnya sosialisasi, tetapi pada lemahnya strategi komunikasi yang digunakan. Informasi tentang larangan merokok hanya disampaikan secara satu arah melalui media statis seperti papan pengumuman dan spanduk. Model komunikasi seperti ini disebut defisit model, yang mengasumsikan bahwa perilaku salah terjadi karena kurangnya informasi. Padahal, mahasiswa tidak hanya butuh informasi, tetapi juga perlu merasakan makna dan relevansi sosial dari kebijakan tersebut (Cox & Depoe, 2018).