Mohon tunggu...
Fauziyyatul Ulya
Fauziyyatul Ulya Mohon Tunggu... Pendamping Lokal Desa

Madrosatul ula

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Balik Kata-kata itu

6 Februari 2025   18:10 Diperbarui: 6 Februari 2025   18:10 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sore itu hujan tak kunjung reda, Melati duduk di ruang tamu dengan wajah murung. Jari-jarinya terhimpit di antara secangkir teh yang hangat. Hari ini adalah hari yang penuh harapan, karena anaknya, Dimas, akan segera mengikuti ujian sekolah. Namun, seiring berjalannya waktu, sebuah kejadian kecil membuat hatinya teriris.

Melati mengingat percakapan yang baru saja terjadi. Siang tadi, saat bertanya kepada guru tentang jadwal ujian Dimas, alih-alih mendapatkan informasi yang jelas, istri guru tersebut malah menjawab dengan nada yang mengejutkan.

"Anakmu? Sekolahnya saja jarang bisa hafal materi, tidak pernah bisa. Bagaimana dia bisa ujian?" kata perempuan itu dengan suara yang menyentuh hati, namun tidak dalam arti yang baik.

Melati terdiam, tak mampu mengungkapkan apa yang sebenarnya ia rasakan. Rasanya ada sesuatu yang terlepas dari hatinya, seolah tergores oleh kata-kata tajam yang datang begitu saja. Dimas, yang selama ini berjuang meskipun sering merasa kesulitan untuk menghafal, tak pantas menerima kata-kata semacam itu.

Ibu itu tahu betul, bagaimana anaknya sudah berusaha dengan sepenuh hati, meski hasilnya tidak selalu sesuai dengan yang diinginkan. Setiap malam, Dimas menatap buku pelajaran dengan mata lelah, berharap dapat menguasai pelajaran yang sulit. Namun, kenapa harus ada orang yang merendahkan usaha itu?

Melati menatap foto Dimas yang ada di meja ruang tamu. Mata anaknya yang penuh semangat itu, yang selalu berusaha keras meski kadang gagal. Hatinya kembali terasa sesak.

Apakah itu namanya perundungan, pikirnya. Meskipun tidak ada kekerasan fisik, namun kata-kata itu seolah menghancurkan semangat anaknya. Sebuah bentuk kekerasan verbal yang datang tanpa rasa empati.

Namun, Melati sadar, tidak ada yang bisa membalikkan waktu. Yang bisa ia lakukan adalah mendampingi Dimas, memberikan dukungan yang lebih dari sebelumnya. Kata-kata negatif dari luar bukanlah hal yang harus dikhawatirkan. Yang terpenting adalah bagaimana mereka, ibu dan anak, bisa tetap kuat bersama.

Ketika Dimas pulang dari sekolah, Melati memeluknya erat. "Sayang, tidak apa-apa kalau kamu belum bisa menghafal semua. Yang penting kamu sudah berusaha. Aku bangga padamu." Ia menatap mata Dimas yang mulai berbinar, seolah kata-kata itu memberi semangat baru.

Dimas hanya mengangguk dan tersenyum, meski sedikit cemas dengan ujian yang akan datang. Namun, di balik cemasnya, ada rasa percaya diri yang lebih besar. Ia tahu, ibunya selalu ada untuknya, tidak peduli apa yang orang lain katakan.

Melati tersenyum. Ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengubah dunia anaknya, tetapi yang paling penting adalah memberikan dukungan yang tulus, membangun percaya diri, dan tidak membiarkan kata-kata yang menyakitkan merusak hati.

Di balik kata-kata itu, ia memilih untuk memperlihatkan bahwa cinta dan usaha adalah kekuatan terbesar yang bisa dimiliki anaknya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun