Membangun Budaya Membaca Harus Dibarengi Kualitas Bacaan
Masyarakat yang maju bukanlah masyarakat yang sekadar memiliki infrastruktur megah atau teknologi mutakhir, melainkan masyarakat yang pikiran dan budayanya terbentuk melalui tradisi belajar yang kokoh. Di antara fondasi utama tradisi belajar itu adalah budaya membaca. Membaca bukan sekadar kegiatan mekanis menggerakkan mata dari huruf ke huruf, melainkan proses menyerap pengetahuan, mengasah logika, memperluas imajinasi, dan menata kembali cara kita memandang dunia.
Namun, sering kali kita terjebak pada satu sisi: menggalakkan kegiatan membaca, tetapi melupakan kualitas bahan bacaan yang dikonsumsi. Akibatnya, membaca menjadi aktivitas yang berjalan tanpa arah. Masyarakat mungkin membaca lebih banyak, tetapi jika yang dibaca adalah teks dangkal, sensasional, atau bahkan menyesatkan, maka manfaat yang diharapkan tidak kunjung hadir.
Mengapa Kualitas Bacaan Itu Penting?
Bayangkan sebuah bangsa di mana orang-orangnya rajin membaca, tetapi mayoritas bahan bacaan yang beredar adalah berita palsu, gosip selebriti, atau tulisan yang penuh bias. Alih-alih lahir generasi kritis dan berpengetahuan, yang muncul justru generasi resah, mudah terprovokasi, dan miskin argumentasi. Membaca tanpa seleksi ibarat makan tanpa memperhatikan gizi. Perut memang kenyang, tetapi tubuh tidak sehat.
Inilah sebabnya membangun budaya membaca harus dibarengi peningkatan kualitas bacaan. Dua hal ini tidak boleh dipisahkan. Kuantitas membaca adalah bahan bakar, sedangkan kualitas bacaan adalah arah kemudi. Bila bahan bakar melimpah tetapi kemudi hilang, perjalanan bisa tersesat. Sebaliknya, arah kemudi jelas tetapi tanpa bahan bakar, kita pun tidak akan bergerak.
Tantangan Budaya Membaca di Indonesia
Indonesia dikenal dengan istilah "krisis literasi". Banyak survei internasional menempatkan tingkat membaca masyarakat kita pada posisi rendah. Namun ironisnya, ketika diperhatikan lebih teliti, sebenarnya masyarakat Indonesia rajin membaca --- hanya saja yang dibaca sering kali bukan buku, melainkan konten singkat di media sosial. Di sinilah kita perlu menaruh perhatian.
Budaya membaca buku jauh lebih kompleks daripada sekadar membaca teks pendek. Buku menuntut kesabaran, konsentrasi panjang, dan kemampuan memahami struktur gagasan. Membaca buku berarti melatih otak untuk tidak terburu-buru, untuk menautkan ide-ide yang berserakan, dan untuk masuk ke kedalaman pemikiran penulis.
Sayangnya, kebiasaan semacam ini jarang dipupuk sejak kecil. Sementara itu, industri bacaan yang sehat dan berkualitas juga belum sepenuhnya berkembang. Banyak penerbit mengejar tren pasar semata, sementara karya-karya bermutu kurang mendapat tempat.
Tangga Kualitas Bacaan: Dari Dasar hingga Maestro