Abstrak
Artikel ini membahas apa yang dimaksud dengan hermeneutika Dilthey, siapa tokohnya dan pengaruhnya, kapan pemikirannya muncul, di mana relevansi konsepnya bagi dunia akuntansi, mengapa perlu pendekatan hermeneutik, dan bagaimana penerapannya dalam konteks epistemologi, ontologi, dan aksiologi akuntansi.
1. Pendahuluan
Dalam dunia modern yang semakin terukur dan terstandar, akuntansi sering kali dipandang sebagai bahasa universal bisnis sebuah sistem yang mampu mengubah realitas ekonomi menjadi angka-angka yang tampak pasti, obyektif, dan terukur. Laporan keuangan, rasio profitabilitas, serta indikator kinerja dianggap mewakili "kebenaran" tentang kondisi suatu organisasi. Namun, di balik segala ketepatan matematis dan konsistensi teknis itu, terselip satu pertanyaan mendasar: apakah angka-angka tersebut sungguh merepresentasikan kehidupan manusia yang kompleks, ataukah sekadar bayangan statistik dari kenyataan yang jauh lebih dalam?
Apa (What) yang menjadikan hermeneutika Dilthey relevan dengan akuntansi adalah penekanannya bahwa pengetahuan tentang manusia tidak dapat direduksi menjadi angka semata. Dalam akuntansi, setiap keputusan, catatan, dan laporan bukan hanya hasil kalkulasi logis, tetapi juga ungkapan dari nilai, tanggung jawab, dan keyakinan. Saat seorang akuntan menetapkan nilai wajar suatu aset, mempertimbangkan depresiasi, atau menyusun laporan tahunan, ia sesungguhnya sedang menafsirkan realitas sosial dan moral yang melibatkan manusia di dalamnya. Dengan kata lain, akuntansi adalah praktik penafsiran yang hidup---sebuah hermeneutika dalam tindakan.
Dalam kerangka itu, mengapa (Why) pendekatan hermeneutik penting adalah karena ia mengembalikan akuntansi ke jantung kemanusiaan. Di tengah arus globalisasi dan kapitalisme yang menuntut efisiensi maksimal, akuntansi kerap tergelincir menjadi alat kekuasaan yang menyingkirkan nilai-nilai empati dan keadilan. Skandal manipulasi keuangan, rekayasa laporan laba, dan penyembunyian kerugian bukan hanya kesalahan teknis, tetapi cerminan hilangnya kesadaran etis dalam profesi ini. Hermeneutika, dengan semangat Verstehen (pemahaman) dan Einfhlung (empati), menuntun kita untuk melihat bahwa angka bukanlah entitas netral; ia adalah simbol kehidupan yang membawa beban moral, sosial, dan spiritual.
Di mana (Where) konteks penerapan pemikiran ini paling nyata? Jawabannya: di setiap ruang di mana akuntansi menyentuh kehidupan manusia. Dalam ruang rapat korporasi, di mana keputusan finansial memengaruhi nasib ribuan pekerja. Dalam organisasi sosial, di mana pencatatan sederhana bisa menentukan keberlanjutan program kemanusiaan. Dalam ruang kuliah, di mana calon akuntan belajar bukan hanya cara menghitung, tetapi juga cara memahami makna di balik perhitungan. Akuntansi hadir di tengah kehidupan, bukan di luar kehidupan. Ia menjadi bagian dari Lebenswelt dunia hidup yang dihayati manusia setiap hari.
Bagaimana (How) pendekatan hermeneutik diterapkan dalam akuntansi? Dengan mengubah cara pandang terhadap data dan angka. Laporan keuangan tidak lagi dianggap sebagai cermin objektif dari kenyataan ekonomi, melainkan sebagai teks sosial yang perlu ditafsirkan. Angka laba bukan sekadar hasil akhir dari operasi matematika, tetapi ekspresi dari pandangan moral tentang keadilan dan keseimbangan antara modal, tenaga kerja, dan masyarakat. Auditor tidak lagi hanya memeriksa ketaatan pada standar, tetapi juga menelusuri makna tanggung jawab yang terkandung di balik setiap keputusan akuntansi.
Dilthey mengajarkan bahwa memahami kehidupan berarti menghidupkan kembali pengalaman orang lain---Nacherleben. Dalam konteks akuntansi, hal ini berarti peneliti atau akuntan harus mampu menempatkan dirinya dalam posisi pihak lain: memahami tekanan, dilema moral, dan nilai-nilai yang melatarbelakangi tindakan ekonomi. Dengan cara ini, akuntansi tidak lagi berdiri sebagai sistem netral, melainkan sebagai praktik pemaknaan yang bersifat intersubjektif dan historis.
1. Perubahan Peran Peneliti
Dalam pendekatan hermeneutik, posisi peneliti akuntansi mengalami pergeseran yang fundamental. Peneliti tidak lagi diposisikan sebagai pengamat netral yang menjaga jarak terhadap objek penelitiannya, melainkan menjadi seorang penafsir (interpreter) yang terlibat secara batiniah dalam proses memahami realitas ekonomi. Keterlibatan ini menandai bahwa pemahaman terhadap fenomena ekonomi tidak dapat dilakukan hanya melalui observasi empiris atau analisis objektif semata.
Peneliti akuntansi hermeneutik diibaratkan seperti seorang psikolog yang berusaha memahami kondisi batin pasiennya, bukan seperti dokter yang sekadar membedah tubuh manusia. Artinya, dalam mempelajari fenomena akuntansi, peneliti tidak hanya melihat angka, data, dan laporan secara kasat mata, tetapi juga berupaya menyelami makna, nilai, dan pengalaman manusia yang tersembunyi di baliknya. Dengan demikian, akuntansi tidak lagi dipahami sebagai sistem mekanis, melainkan sebagai bentuk interpretasi terhadap realitas sosial dan ekonomi manusia.
Melalui kacamata Dilthey, akuntansi dapat dipahami sebagai bentuk Ausdruck ekspresi kehidupan yang mengungkapkan struktur batin masyarakat. Setiap laporan, angka, dan neraca adalah simbol-simbol yang menuturkan kisah manusia: kisah tentang tanggung jawab, ambisi, solidaritas, dan kadang-kadang keserakahan. Memahami akuntansi berarti memahami manusia yang berada di baliknya.