2. Aspek Ontologi: Akuntansi sebagai Dunia Hidup (Lebenswelt) dan Ekspresi Sosial
Ontologi hermeneutik Dilthey berangkat dari pandangan bahwa realitas manusia adalah kehidupan itu sendiri (das Leben). Artinya, segala sesuatu yang ada bagi manusia hanyalah apa yang dialaminya dalam kehidupan. Realitas sosial—termasuk sistem akuntansi—tidak berdiri di luar manusia, tetapi merupakan hasil ekspresi dari kehidupan manusia itu sendiri.
Dalam kerangka ini, akuntansi dipahami sebagai bagian dari “dunia hidup” (Lebenswelt), yaitu ruang tempat manusia memberi makna terhadap pengalamannya. Angka, laporan, dan prosedur akuntansi bukanlah benda netral atau fakta objektif, melainkan simbol-simbol ekspresif yang menampakkan makna sosial, moral, dan budaya di balik aktivitas ekonomi.
Sebagai contoh:
Dalam masyarakat tradisional, laba dapat dipahami sebagai rezeki dan tanda keberkahan.
Dalam dunia korporasi modern, laba adalah indikator performa, efisiensi, dan legitimasi publik.
Dalam konteks spiritual atau pesantren, laba bisa dimaknai sebagai keseimbangan antara usaha dan doa.
Perbedaan makna ini menunjukkan bahwa realitas akuntansi bersifat historis dan intersubjektif, bergantung pada konteks sosial yang melahirkannya. Maka, ontologi akuntansi hermeneutik tidak mencari hukum universal, tetapi struktur makna yang hidup dalam pengalaman manusia.
Selain itu, Dilthey menegaskan bahwa setiap ekspresi sosial merupakan bentuk Ausdruck—yakni ungkapan batin manusia ke dalam simbol. Maka, angka akuntansi, laporan keuangan, dan praktik audit harus dipahami sebagai ekspresi dari pengalaman, nilai, dan hubungan sosial yang dijalani manusia di dalam organisasi.
Dengan demikian, tujuan ontologi hermeneutik dalam akuntansi adalah menemukan realitas akuntansi sebagai fenomena ekspresif dan komunikatif, bukan sekadar representasi material atas aset dan kewajiban.
3. Aspek Aksiologi: Nilai, Empati, dan Tanggung Jawab Moral dalam Akuntansi