1. F.D.E. Schleiermacher (1768–1834): Hermeneutika Klasik
Schleiermacher merupakan tokoh penting yang menempatkan hermeneutika sebagai seni universal dalam memahami teks. Ia menolak pandangan bahwa penafsiran hanya berlaku bagi teks-teks tertentu, seperti kitab suci atau karya sastra, dan justru menegaskan bahwa semua bentuk komunikasi manusia membutuhkan proses penafsiran.
Menurut Schleiermacher, pemahaman terhadap teks mencakup dua dimensi utama, yaitu:
Pemahaman gramatikal, yakni analisis terhadap struktur bahasa yang digunakan penulis, serta konteks linguistik yang melatarbelakanginya.
-
Pemahaman psikologis, yaitu usaha rekonstruksi makna batin atau maksud subjektif penulis di balik teks yang ia tulis.
Kedua aspek ini menandai awal hermeneutika modern, di mana penafsir tidak hanya berfokus pada kata-kata tertulis, tetapi juga pada kehidupan batin penulis dan konteks komunikatifnya. Melalui pemikirannya, Schleiermacher menjadikan hermeneutika sebagai seni memahami makna bahasa dan maksud manusia secara universal, bukan sekadar prosedur interpretasi keagamaan.
2. Wilhelm Dilthey (1833–1911): Hermeneutika Humanistik
Dilthey memperluas gagasan Schleiermacher dengan membawa hermeneutika ke ranah ilmu sosial dan humaniora. Menurutnya, hermeneutika tidak hanya berurusan dengan teks, tetapi juga dengan kehidupan manusia dan sejarahnya. Ia memperkenalkan konsep Erlebnis (pengalaman hidup) sebagai kunci pemahaman realitas manusia.
Dilthey menegaskan bahwa realitas manusia bukanlah sesuatu yang netral dan dapat diukur secara objektif seperti dalam ilmu alam (Naturwissenschaften), melainkan merupakan realitas yang dipahami dari dalam, melalui pengalaman dan ekspresi simbolik manusia dalam konteks sosial-historis (Geisteswissenschaften).
Dengan demikian, tugas hermeneutika adalah memahami makna di balik tindakan, simbol, dan ekspresi manusia yang merefleksikan pengalaman batin dan nilai-nilai historisnya.
Kontribusi utama Dilthey adalah menjadikan hermeneutika sebagai dasar epistemologi bagi ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan, di mana pemahaman manusia tidak dicapai melalui hukum universal seperti dalam ilmu alam, tetapi melalui interpretasi terhadap makna yang hidup dalam sejarah dan budaya. Hermeneutika baginya adalah jalan untuk memahami kehidupan manusia secara utuh, bukan sekadar menjelaskan fenomena empiris.
3. Martin Heidegger (1889–1976): Hermeneutika Eksistensial
Bagi Heidegger, pemahaman justru merupakan cara manusia “ada di dunia” (Being-in-the-world).
Dengan pendekatan fenomenologis, Heidegger menegaskan bahwa manusia tidak pernah menjadi pengamat pasif atas dunia, tetapi selalu terlibat secara eksistensial di dalamnya. Maka, setiap pemahaman adalah interpretasi yang sudah dibentuk oleh keberadaan manusia dalam konteks dunia kehidupannya.