Pendekatan ini sekaligus menjawab tantangan dunia akuntansi kontemporer: bagaimana menyeimbangkan rasionalitas dan moralitas, logika dan empati, angka dan nilai. Dengan menjadikan hermeneutika sebagai landasan filosofis, akuntansi tidak lagi sekadar mencatat transaksi, tetapi juga menghidupkan makna kemanusiaan yang tersembunyi di baliknya.
Wilhelm Dilthey (19 November 1833 -- 1 Oktober 1911) adalah seorang filsuf, sejarawan, psikolog, sosiolog, sekaligus tokoh penting dalam bidang hermeneutika asal Jerman. Ia dikenal sebagai pemikir yang berpandangan empiris, meskipun penjelasannya mengenai pengalaman dan kenyataan empiris berbeda dari aliran empirisisme Britania dan positivisme. Pemikiran Dilthey banyak dipengaruhi oleh tradisi filsafat dan sastra Jerman.
Dilthey lahir dari keluarga religius; ayahnya merupakan pendeta Protestan yang berpaham liberal, sementara ibunya berasal dari keluarga pecinta musik. Dari keluarganya, Dilthey mewarisi minat mendalam terhadap musik---selama masa sekolah ia belajar komposisi dan gemar bermain piano. Ketertarikannya terhadap seni dan budaya juga tercermin dalam karya awalnya Of German Poetry and Music yang diterbitkan pada tahun 1932.
Pada tahun 1852, setelah menyelesaikan pendidikan di Wiesbaden, Dilthey melanjutkan studi teologi di Universitas Heidelberg. Setahun kemudian, ia pindah ke Berlin untuk mencari lingkungan intelektual dan budaya yang lebih dinamis. Walaupun awalnya mengikuti keinginan orang tuanya untuk menjadi pendeta, minatnya kemudian beralih ke bidang sejarah dan filsafat. Ia juga mempelajari bahasa Yunani, Ibrani, dan Inggris, serta mendalami karya-karya tokoh besar seperti Shakespeare, Plato, Aristoteles, dan St. Agustinus. Banyak catatan mengenai masa studinya ditemukan dalam buku harian dan surat-surat pribadinya kepada keluarga.
Dilthey wafat pada tahun 1911 setelah menerbitkan hanya tiga buku dan sejumlah esai. Sifatnya yang tertutup membuat ia enggan mempublikasikan sebagian besar tulisannya. Murid-muridnya mengenalnya sebagai sosok bijak namun penuh misteri. Setelah kematiannya, para murid dan peneliti menghimpun pemikirannya ke dalam 22 jilid buku, sebagian besar masih berbahasa Jerman. Hanya sedikit yang berhasil diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, dan karya-karya tersebut pun belum sepenuhnya diterbitkan secara luas.
2. Landasan Teoretis: Wilhelm Dilthey dan Hermeneutika
Filsafat modern mengenal banyak pemikir besar yang berusaha menjembatani jurang antara ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan tentang manusia. Di antara tokoh penting tersebut, Wilhelm Dilthey (1833--1911) menempati posisi sentral sebagai pelopor hermeneutika modern dan peletak dasar filsafat ilmu sosial (Geisteswissenschaften). Dilthey hidup di Jerman pada paruh kedua abad ke-19, masa di mana positivisme dan saintisme sedang mendominasi cara pandang dunia akademik. Dalam atmosfer intelektual tersebut, ilmu alam dianggap sebagai model utama pengetahuan yang sahih: hanya sesuatu yang dapat diukur, diuji, dan dijelaskan secara kausal yang diakui sebagai "kebenaran ilmiah."
Namun, Dilthey dengan tegas menolak hegemoni cara pandang semacam itu. Baginya, kehidupan manusia tidak dapat direduksi menjadi sekadar objek pengamatan seperti benda mati. Realitas sosial dan budaya memiliki struktur makna yang tidak bisa dijelaskan sepenuhnya dengan hukum sebab-akibat ala ilmu alam. Manusia bukan sekadar makhluk yang bereaksi terhadap stimulus eksternal, tetapi makhluk yang mengalami (erleben), memaknai, dan menafsirkan kehidupannya sendiri. Oleh sebab itu, diperlukan cara berpikir dan pendekatan ilmiah yang berbeda --- yaitu hermeneutika sebagai dasar epistemologis ilmu kemanusiaan.
Dilthey mewarisi gagasan hermeneutik dari Friedrich Schleiermacher, yang sebelumnya mengembangkan hermeneutika sebagai seni memahami teks, terutama teks-teks klasik dan keagamaan. Schleiermacher memperkenalkan dua bentuk pemahaman: gramatikal (struktur bahasa) dan psikologis (maksud penulis). Dilthey memperluas cakupan ini secara radikal. Baginya, yang perlu ditafsir bukan hanya teks dalam arti sempit (buku, naskah, atau dokumen), tetapi juga kehidupan manusia itu sendiri sebagai "teks hidup" --- segala bentuk tindakan, simbol, bahasa, institusi, bahkan sistem ekonomi dapat dipahami melalui proses penafsiran.
Selain Schleiermacher, pemikiran Dilthey kemudian berpengaruh besar terhadap generasi pemikir berikutnya seperti Martin Heidegger dan Hans-Georg Gadamer, yang membawa hermeneutika ke wilayah eksistensial dan filosofis. Heidegger melihat pemahaman bukan sekadar metode ilmiah, tetapi sebagai struktur keberadaan manusia itu sendiri (Being-in-the-world). Sementara Gadamer mengembangkan gagasan tentang fusi horizon (Horizontverschmelzung), yakni pertemuan antara makna masa lalu dan masa kini dalam proses penafsiran. Dengan demikian, Dilthey menjadi figur penghubung antara hermeneutika klasik (Schleiermacher) dan hermeneutika filosofis modern (Heidegger--Gadamer).