Reunifikasi Korea: Game Theory merupakan karya populer adaptasi dari disertasi Teguh Santosa, seorang jurnalis senior dan dosen di FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Buku ini pertama kali diterbitkan pada Januari 2025 oleh Booknesia dan telah mencapai cetakan kedua. Memiliki total 368 halaman utama dan 30 halaman pelengkap, buku ini terdaftar dengan ISBN 978-623-88935-2-2 dan dapat diperoleh melalui situs resmi penerbit di www.booknesia.com.Â
Secara keseluruhan, buku ini menyuguhkan kajian komprehensif mengenai dinamika hubungan antara Korea Utara (Republik Demokratik Rakyat Korea) dan Korea Selatan (Republik Korea) dalam konteks upaya reunifikasi. Pendekatan yang digunakan cukup unik sekaligus menarik, yaitu game theory (teori permainan) yang umumnya digunakan dalam ilmu ekonomi dan hubungan internasional untuk menganalisis interaksi antar-aktor yang rasional.
Reunifikasi: Cita-Cita Historis dalam Bayang-Bayang Konflik
Reunifikasi Korea bukan sekadar wacana politis, melainkan cita-cita historis yang telah tumbuh dalam kesadaran kolektif bangsa Korea dan bahkan tercantum dalam konstitusi masing-masing negara. Namun, impian ini kerap terhambat oleh perbedaan visi dan pendekatan. Korea Selatan memandang reunifikasi sebagai penggabungan semenanjung di bawah sistem demokrasi, sementara Korea Utara mengedepankan prinsip kemandirian dan menolak intervensi asing dalam prosesnya.Â
Sejarah panjang konflik juga memperparah ketegangan, dimulai dari penjajahan Jepang (1910--1945), disusul pembagian wilayah pasca-Perang Dunia II, dan meletusnya Perang Korea (1950--1953) yang berakhir bukan dengan perjanjian damai, melainkan hanya gencatan senjata. Gagalnya upaya perdamaian yang bersifat final ini telah membuat status "perang tertunda" terus membayangi kedua Korea hingga saat ini.
Game Theory: Memetakan Strategi dan Ketidakpercayaan
Melalui pendekatan game theory, penulis mengajak pembaca untuk melihat interaksi antara Korea Utara dan Selatan sebagai bentuk kalkulasi rasional antara dua aktor strategis dalam kondisi kompetisi sekaligus peluang kerja sama. Model-model seperti Zero-Sum, Non-Zero Sum, Battle of the Sexes, Chicken Run, Stag Hunt, hingga Prisoner's Dilemma digunakan untuk memetakan dinamika ini.Â
Model Prisoner's Dilemma, misalnya, menggambarkan bagaimana ketidakpercayaan dan minimnya komunikasi menyebabkan kedua belah pihak terus mengambil langkah defensif, karena selalu mencurigai niat agresif dari pihak lain. Akibatnya, inisiatif perdamaian kerap gagal bukan karena keengganan, melainkan karena kesalahpahaman dan asumsi yang tidak diklarifikasi melalui komunikasi strategis.
Peran Negara-Negara Besar: Komplikasi dari Luar
Buku ini tidak hanya membahas dinamika dua Korea, tetapi juga memperluas analisis pada peran aktor eksternal seperti Amerika Serikat, Tiongkok, Jepang, dan Rusia. Keempat negara ini memiliki kepentingan geopolitik tersendiri yang turut memengaruhi, bahkan menghambat, proses reunifikasi. Amerika Serikat, misalnya, secara resmi mendukung reunifikasi di bawah sistem demokrasi dan pasar bebas, sembari mempertahankan kehadiran militernya di Korea Selatan berdasarkan Mutual Defense Treaty 1953. Washington melihat reunifikasi sebagai peluang untuk memperkuat stabilitas regional dan menghilangkan ancaman senjata nuklir Korea Utara. Namun, kehadiran militer AS di kawasan juga menimbulkan kekhawatiran di pihak Tiongkok dan Rusia, yang mencemaskan dominasi strategis AS di Asia Timur.Â