Mohon tunggu...
Fauzan Muhammad Khoir
Fauzan Muhammad Khoir Mohon Tunggu... Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Memiliki minat tinggi dalam diskusi pemikiran agama Islam, kegiatan-kegiatan sosial, serta isu-isu internasional

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Review Buku "Reunifikasi Korea: Game Theory"

13 Juni 2025   10:58 Diperbarui: 13 Juni 2025   10:58 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dokumentasi Pribadi

Reunifikasi Korea: Game Theory merupakan karya populer adaptasi dari disertasi Teguh Santosa, seorang jurnalis senior dan dosen di FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Buku ini pertama kali diterbitkan pada Januari 2025 oleh Booknesia dan telah mencapai cetakan kedua. Memiliki total 368 halaman utama dan 30 halaman pelengkap, buku ini terdaftar dengan ISBN 978-623-88935-2-2 dan dapat diperoleh melalui situs resmi penerbit di www.booknesia.com. 

Secara keseluruhan, buku ini menyuguhkan kajian komprehensif mengenai dinamika hubungan antara Korea Utara (Republik Demokratik Rakyat Korea) dan Korea Selatan (Republik Korea) dalam konteks upaya reunifikasi. Pendekatan yang digunakan cukup unik sekaligus menarik, yaitu game theory (teori permainan) yang umumnya digunakan dalam ilmu ekonomi dan hubungan internasional untuk menganalisis interaksi antar-aktor yang rasional.

Reunifikasi: Cita-Cita Historis dalam Bayang-Bayang Konflik

Reunifikasi Korea bukan sekadar wacana politis, melainkan cita-cita historis yang telah tumbuh dalam kesadaran kolektif bangsa Korea dan bahkan tercantum dalam konstitusi masing-masing negara. Namun, impian ini kerap terhambat oleh perbedaan visi dan pendekatan. Korea Selatan memandang reunifikasi sebagai penggabungan semenanjung di bawah sistem demokrasi, sementara Korea Utara mengedepankan prinsip kemandirian dan menolak intervensi asing dalam prosesnya. 

Sejarah panjang konflik juga memperparah ketegangan, dimulai dari penjajahan Jepang (1910--1945), disusul pembagian wilayah pasca-Perang Dunia II, dan meletusnya Perang Korea (1950--1953) yang berakhir bukan dengan perjanjian damai, melainkan hanya gencatan senjata. Gagalnya upaya perdamaian yang bersifat final ini telah membuat status "perang tertunda" terus membayangi kedua Korea hingga saat ini.

Game Theory: Memetakan Strategi dan Ketidakpercayaan

Melalui pendekatan game theory, penulis mengajak pembaca untuk melihat interaksi antara Korea Utara dan Selatan sebagai bentuk kalkulasi rasional antara dua aktor strategis dalam kondisi kompetisi sekaligus peluang kerja sama. Model-model seperti Zero-Sum, Non-Zero Sum, Battle of the Sexes, Chicken Run, Stag Hunt, hingga Prisoner's Dilemma digunakan untuk memetakan dinamika ini. 

Model Prisoner's Dilemma, misalnya, menggambarkan bagaimana ketidakpercayaan dan minimnya komunikasi menyebabkan kedua belah pihak terus mengambil langkah defensif, karena selalu mencurigai niat agresif dari pihak lain. Akibatnya, inisiatif perdamaian kerap gagal bukan karena keengganan, melainkan karena kesalahpahaman dan asumsi yang tidak diklarifikasi melalui komunikasi strategis.

Peran Negara-Negara Besar: Komplikasi dari Luar

Buku ini tidak hanya membahas dinamika dua Korea, tetapi juga memperluas analisis pada peran aktor eksternal seperti Amerika Serikat, Tiongkok, Jepang, dan Rusia. Keempat negara ini memiliki kepentingan geopolitik tersendiri yang turut memengaruhi, bahkan menghambat, proses reunifikasi. Amerika Serikat, misalnya, secara resmi mendukung reunifikasi di bawah sistem demokrasi dan pasar bebas, sembari mempertahankan kehadiran militernya di Korea Selatan berdasarkan Mutual Defense Treaty 1953. Washington melihat reunifikasi sebagai peluang untuk memperkuat stabilitas regional dan menghilangkan ancaman senjata nuklir Korea Utara. Namun, kehadiran militer AS di kawasan juga menimbulkan kekhawatiran di pihak Tiongkok dan Rusia, yang mencemaskan dominasi strategis AS di Asia Timur. 

Sementara itu, Tiongkok memainkan peran yang kompleks. Di satu sisi, Beijing mendukung proses denuklirisasi; di sisi lain, mereka berhati-hati agar pengaruh tradisionalnya terhadap Pyongyang tidak terganggu. Jepang dan Rusia juga memiliki posisi ambigu, di antara keinginan untuk menjaga stabilitas regional dan ketakutan terhadap perubahan rezim yang bisa memicu instabilitas baru di kawasan.

Aspek Kultural dan Imajinasi Kebangsaan

Tidak hanya menyentuh aspek strategi dan politik, Teguh Santosa juga menggarisbawahi pentingnya pendekatan kultural dan historis. Bahasa, sejarah, dan identitas sebagai satu bangsa menjadi fondasi kuat untuk membangun kembali "imajinasi kebangsaan"---yakni kesadaran kolektif bahwa Korea adalah satu bangsa yang terpisah oleh sistem, bukan oleh jati diri. Dengan membangun kesadaran ini, penulis meyakini bahwa dialog yang produktif dan pendekatan inklusif lebih memungkinkan dicapai. Imajinasi kebangsaan menjadi landasan emosional dan simbolik yang dapat menjembatani jurang ideologis.

Kekuatan Data Primer dan Pengalaman Langsung

Salah satu kekuatan menonjol buku ini adalah pengalaman langsung penulis di kedua Korea, terutama Korea Utara, yang jarang dijangkau oleh akademisi maupun jurnalis internasional. Teguh Santosa, yang juga pendiri kantor berita RMOL dan aktif di berbagai jaringan jurnalis global, berhasil mengakses data primer dan menghadirkan narasi alternatif dari perspektif yang selama ini jarang terdengar. Foto-foto otentik dari Korea Utara yang disertakan dalam buku ini memperkuat narasi, mematahkan stereotip negatif, dan menghadirkan wajah Korea Utara secara utuh. Ini menjadikan buku ini bukan hanya kajian teoretis, tetapi juga karya jurnalistik investigatif yang berbasis pengalaman lapangan.

Kesimpulan

Reunifikasi Korea: Game Theory adalah karya penting yang membuka cakrawala pembaca terhadap kompleksitas reunifikasi Korea. Dengan pendekatan teoritis yang kuat, data empiris yang kaya, serta penyampaian yang komunikatif, buku ini berhasil menggabungkan analisis akademik dengan pengalaman praktis. Teguh Santosa menegaskan bahwa konflik Korea bukan takdir yang tak terelakkan, tetapi persoalan strategi dan komunikasi yang masih bisa diatasi---jika para aktor bersedia berpikir rasional, bekerja sama, dan membuka diri terhadap masa depan bersama.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun