Respon dunia ini menandai pergeseran penting: isu Palestina kini bukan hanya urusan kawasan Timur Tengah, melainkan cermin kredibilitas tatanan internasional. Apakah PBB benar-benar bisa menjadi lembaga penjaga perdamaian, atau hanya forum basa-basi yang tak lebih dari panggung retorika?
Dampak Nyata bagi Palestina
Pengakuan Palestina sebagai negara di PBB memang monumental. Tetapi, seperti sering terjadi dalam sejarah, kemenangan diplomasi tak selalu sejalan dengan kenyataan di lapangan. Bendera Palestina boleh berkibar di ruang sidang PBB, tapi di Gaza, asap hitam dan suara sirene masih lebih dominan daripada simbol kemenangan.
Secara hukum, status non-member observer state memberi Palestina keuntungan besar. Mereka bisa mengakses lembaga-lembaga internasional, dari UNESCO hingga Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Dengan status ini pula, Palestina memiliki dasar untuk membawa kasus pelanggaran HAM ke ranah hukum global. Tak hanya itu, dukungan lebih dari 140 negara mempertegas legitimasi internasional Palestina---bahwa mereka bukan lagi sekadar "entitas," melainkan bangsa yang punya hak menentukan nasibnya sendiri.
Namun, semua itu terasa timpang jika melihat realitas di lapangan. Blokade atas Gaza tetap berlangsung, permukiman ilegal Israel di Tepi Barat terus meluas, dan ribuan warga sipil masih menjadi korban. Data terbaru dari PBB menyebutkan bahwa tindakan Israel di Gaza telah memenuhi kriteria genosida sebagaimana diatur dalam Konvensi Genosida 1948. Komisi Penyelidikan Internasional Independen PBB menegaskan ada empat dari lima unsur genosida yang dilakukan oleh Israel: pembunuhan anggota kelompok, menyebabkan penderitaan fisik dan mental serius, menciptakan kondisi hidup yang menghancurkan, hingga mencegah kelahiran dalam kelompok tersebut.
Temuan ini menempatkan pengakuan de facto Palestina dalam dimensi baru. Bukan sekadar simbol politik, tetapi pijakan hukum untuk menuntut akuntabilitas. Dengan statusnya di PBB, Palestina kini punya jalur sah untuk mendesak pengadilan internasional memproses kejahatan perang dan genosida yang dilakukan Israel. Artinya, dunia tidak lagi bisa bersembunyi di balik retorika diplomasi; ada kewajiban hukum untuk bertindak.
Tetapi, tantangan tetap besar. Israel menolak tuduhan itu, Amerika Serikat berdiri tegak sebagai pelindung, dan mekanisme veto di Dewan Keamanan menjadi tembok penghalang. Alhasil, meski Palestina semakin kuat di panggung diplomasi, rakyatnya masih harus hidup di bawah blokade dan puing-puing kehancuran.
Inilah paradoks besar yang sedang berlangsung: Palestina telah "diakui" dunia, namun pengakuan itu belum mampu menghentikan bom Israel, membongkar tembok Israel, atau menyelamatkan anak-anak yang terluka akibat serangan Israel. Pengakuan de facto memang memberi harapan, tetapi tanpa tindakan nyata untuk menghentikan genosida yang dilakukan Israel, kemerdekaan Palestina tetap menjadi janji yang terus ditunda.
Tantangan & Jalan Panjang Menuju De Jure
Jika pengakuan de facto Palestina di PBB adalah sebuah pintu yang terbuka, maka menuju pengakuan de jure penuh ibarat mendaki gunung dengan tebing curam dan angin kencang. Jalan masih panjang, penuh hambatan, dan tidak bisa ditempuh hanya dengan pidato atau resolusi.
Hambatan terbesar adalah politik veto di Dewan Keamanan PBB. Selama Amerika Serikat masih memegang hak veto, upaya Palestina untuk menjadi anggota penuh PBB akan terus kandas. AS konsisten melindungi Israel, bahkan ketika laporan resmi PBB menegaskan Israel telah melakukan genosida di Gaza. Dengan satu kata, "veto," semua upaya hukum internasional bisa berhenti di meja rapat.
Selain itu, realitas di lapangan juga masih jauh dari kata damai. Israel tetap melanjutkan pembangunan permukiman ilegal di Tepi Barat, melanggengkan blokade Gaza, dan menggunakan kekuatan militer untuk menekan setiap bentuk perlawanan. Selama struktur kekuasaan itu tidak berubah, pengakuan di PBB akan sulit diterjemahkan menjadi kedaulatan nyata di tanah Palestina.
Tantangan berikutnya adalah fragmentasi politik internal Palestina. Perpecahan antara Hamas di Gaza dan Fatah di Tepi Barat membuat perjuangan diplomasi sering kali pincang. Dunia internasional pun kerap menggunakan perpecahan ini sebagai alasan untuk menunda pengakuan penuh, seolah-olah Palestina belum cukup "stabil" untuk disebut negara berdaulat.