Di dunia yang katanya sudah modern ini, ternyata masih ada bangsa yang kemerdekaannya seperti "barang pre-order"---sudah dipesan sejak lama, tapi tak kunjung datang. Itulah Palestina. Setiap tahun, setiap pertemuan internasional, namanya selalu disebut. Setiap tragedi kemanusiaan di Gaza, fotonya selalu viral. Namun, di balik semua itu, pertanyaan mendasar tetap menggantung: kapan Palestina benar-benar merdeka, bukan hanya di atas kertas atau mimpi?
Momentum penting sebenarnya sudah tercatat dalam sejarah. Pada 29 November 2012, Majelis Umum PBB mengesahkan Resolusi 67/19 yang mengakui Palestina sebagai non-member observer state. Inilah titik di mana Palestina diakui secara de facto sebagai negara, meski belum de jure sepenuhnya. Tahun 2025, gema dukungan semakin kuat: Inggris, Prancis, Kanada, Portugal, hingga Australia menambahkan daftar panjang negara yang mengakui Palestina. Indonesia pun tak tinggal diam; Presiden Prabowo bahkan menegaskan di KTT PBB, "Akui Palestina sekarang!"
Namun, apakah pengakuan itu cukup? Apakah status de facto di PBB mampu menghentikan peluru, membongkar blokade, atau menghentikan penderitaan di kamp pengungsian? Di sinilah kontradiksi muncul: Palestina diakui di ruang diplomasi, tetapi masih terkepung di realitas.
Jejak Panjang Palestina Menuju PBB
Sejarah Palestina bukan sekadar deretan tanggal di buku pelajaran, melainkan luka panjang yang diwariskan dari generasi ke generasi. Awalnya, wilayah ini berada di bawah Mandat Inggris setelah runtuhnya Kekhalifahan Ottoman pada awal abad ke-20. Alih-alih memberi jalan menuju kemerdekaan, mandat itu justru membuka pintu bagi deklarasi kontroversial Balfour 1917---yang menjanjikan tanah Palestina sebagai "rumah nasional" bagi bangsa Yahudi. Sejak saat itu, benih konflik pun tertanam.
Puncaknya terjadi pada 1948, yang oleh bangsa Palestina disebut Nakba atau "malapetaka." Ratusan ribu rakyat terusir dari rumah mereka, dan berdirilah negara Israel. Dunia mungkin mencatat itu sebagai lahirnya sebuah negara baru, tapi bagi warga Palestina, itu berarti kehilangan identitas, tanah, dan hak untuk menentukan nasib sendiri. Dari sinilah, perjuangan diplomasi mulai dirintis.
Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) berdiri pada 1964 dengan mandat memperjuangkan hak bangsa Palestina di forum internasional. Awalnya, PLO dipandang sekadar kelompok perlawanan. Namun, perlahan ia berhasil masuk ke meja perundingan, bahkan mendapatkan pengakuan resmi sebagai "wakil sah rakyat Palestina" dalam Sidang Majelis Umum PBB tahun 1974. Itu adalah pintu kecil yang akhirnya membuka jalan besar.
Perjalanan panjang ini bukan tanpa drama. Dari berbagai perundingan gagal, intifada, hingga Perjanjian Oslo tahun 1993 yang sempat memberi harapan akan solusi dua negara. Namun, di balik setiap kesepakatan, realitas di lapangan masih penuh ketidakadilan. Meski begitu, strategi diplomasi Palestina tak pernah padam. Tujuannya jelas: mendapatkan pengakuan dunia atas eksistensi negaranya.
Puncak kerja keras itu terwujud pada 29 November 2012. Majelis Umum PBB mengesahkan Resolusi 67/19, memberikan status non-member observer state kepada Palestina. Dengan 138 suara mendukung, 9 menolak, dan 41 abstain, Palestina akhirnya berdiri secara de facto di panggung dunia. Tidak lagi hanya "entitas," tapi diakui sebagai negara, meski belum penuh secara hukum internasional.
Sejak hari itu, perjuangan Palestina tidak hanya dilakukan di jalanan Gaza atau Tepi Barat, tetapi juga di ruang rapat PBB yang dingin dan penuh formalitas. Dunia pun mulai melihat: Palestina bukan sekadar isu konflik, melainkan bangsa yang terus menuntut haknya di panggung internasional.
Momen Penting di PBB
Bagi rakyat Palestina, PBB adalah panggung harapan sekaligus ironi. Di satu sisi, lembaga ini menjadi ruang resmi untuk menegaskan eksistensi mereka. Di sisi lain, PBB juga sering dianggap hanya "panggung pidato" yang penuh janji tanpa gigi. Tapi bagaimanapun, sejarah telah mencatat satu momentum penting: pengakuan Palestina secara de facto di PBB.