Mohon tunggu...
Pekik Aulia Rochman
Pekik Aulia Rochman Mohon Tunggu... Petualang Kehidupan Dimensi Manusia yang diabadikan dalam https://theopenlearner333.blogspot.com/

I can't do anything, I don't know anything, and I am nobody. But, I am An Enthusiast in learning of anything.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Falsafah 5S Ki Ageng Suryomentaram: Obat Stres di Era Media Sosial

27 Juli 2025   13:01 Diperbarui: 27 Juli 2025   13:01 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ki Ageng Suryomentaram bertemu dengan Presiden Soekarno di istana Jakarta 24 Januari 1957. Dok: kpkj.salatiga.biz  via seputargk.id

Bahagia setelah punya ini, bahagia setelah dapat itu. Kita semua pernah percaya dengan narasi ini: bahwa kebahagiaan datang ketika keinginan terpenuhi---rumah besar, mobil mewah, pasangan ideal, bahkan pengakuan sosial. Apalagi di era media sosial, daftar keinginan kita makin panjang seperti wishlist yang tak pernah selesai. Lalu kita kejar mati-matian, berharap bahagia. Tapi, benarkah bahagia muncul setelah semua itu didapat?

Kenyataannya, tidak sedikit orang yang punya segalanya justru hidup dalam kegelisahan. Sebaliknya, ada sosok yang memilih jalan berbeda: melepaskan tahta, kekayaan, dan kemewahan demi kedamaian batin. Dialah Ki Ageng Suryomentaram, seorang pangeran Jawa yang meninggalkan istana untuk hidup sederhana. Ajarannya bukan sekadar falsafah Jawa, tetapi juga selaras dengan kebijaksanaan sufistik: bahagia bukan soal memenuhi keinginan, melainkan mengenali diri dan merdeka dari hasrat yang membelenggu.

Dalam tulisan ini, kita akan menyelami kisah hidup Ki Ageng, menggali makna makrifat keinginan, dan merumuskan "5S" sebagai kompas hidup di era serba cepat.

Kisah dan Biografi Ki Ageng Suryomentaram

Di awal abad ke-20, ketika kehidupan bangsawan penuh kemewahan dan kekuasaan, ada seorang pangeran yang justru mengambil jalan berbeda. Ki Ageng Suryomentaram lahir pada 20 Mei 1892 di Yogyakarta dengan nama kecil Bendoro Raden Mas Kudiarmadji. Ia adalah putra ke-55 Sri Sultan Hamengkubuwono VII dari permaisuri Bendoro Raden Ayu Retnomandoyo. Pada usia 18 tahun, ia menerima gelar kebangsawanan Bendoro Pangeran Haryo (BPH) Suryomentaram---sebuah kehormatan besar dalam garis keturunan Keraton Yogyakarta.

Sebagai bangsawan muda, ia menikmati pendidikan terbaik. Ia belajar di Europeesche Lagere School (ELS) dan tertarik mendalami filsafat serta psikologi. Semua fasilitas tersedia: rumah megah, pelayan, kehormatan. Namun, sebuah peristiwa sederhana mengubah jalan hidupnya. Saat ikut rombongan jagong manten ke Surakarta, ia melihat petani di sawah. Kesederhanaan dan peluh mereka menggugah hatinya. Di balik keringat itu, ia melihat kebebasan yang tidak ia temukan di istana.

Sejak saat itu, Suryomentaram mulai keluar-masuk keraton untuk bersemedi. Ia merasa kemewahan hanyalah belenggu keinginan. Ia pun melepaskan gelar pangeran, keluar dari istana, dan memilih hidup sebagai rakyat biasa. Ia menjadi pedagang batik pikulan, petani, bahkan kuli. Keputusan ini bukan bentuk putus asa, melainkan pencarian makna hidup yang sejati.

Perjalanannya melahirkan ajaran yang kemudian dikenal sebagai Ilmu Jiwa Suryomentaram, falsafah yang menekankan pengenalan diri dan kebebasan dari keinginan yang membelenggu. Hingga akhir hayatnya pada 18 Maret 1962, ia dikenang sebagai "Sokrates Jawa" dan Kaum Bejo---filosof yang mengajarkan bahwa kebahagiaan tidak terletak pada tahta dan harta, melainkan pada kesadaran diri.

Makrifat Keinginan -- Analogi Langit dan Awan

Pernahkah kita berpikir bahwa kebahagiaan akan datang jika semua keinginan tercapai? "Kalau saya punya rumah ini, mobil itu, atau bisa jalan-jalan ke sini, pasti bahagia." Pola pikir seperti ini begitu umum, tetapi justru menjadi sumber kegelisahan. Mengapa? Karena keinginan tidak pernah habis, sementara kebahagiaan sejati tidak bergantung pada itu.

Bayangkan kebahagiaan seperti langit biru yang luas, dan keinginan adalah awan yang lewat. Awan bisa datang membawa hujan atau sekadar meneduhkan. Namun, langit tetap ada, tenang, dan tidak berubah. Begitu pula hidup kita. Kebahagiaan bukan hasil memenuhi keinginan, melainkan kesadaran bahwa kita sudah berada di "langit" itu.

Masalahnya, di era media sosial, awan keinginan datang bertubi-tubi. Lihat unggahan orang lain: liburan ke luar negeri, membeli gadget terbaru, pencapaian karier. Tanpa sadar, kita masuk lingkaran perbandingan yang tak berujung. Semakin banyak keinginan, semakin jauh kita merasa dari bahagia. Kita sibuk mengejar awan, padahal langit selalu ada di atas kepala.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun