Mohon tunggu...
Pekik Aulia Rochman
Pekik Aulia Rochman Mohon Tunggu... Petualang Kehidupan Dimensi Manusia yang diabadikan dalam https://theopenlearner333.blogspot.com/

I can't do anything, I don't know anything, and I am nobody. But, I am An Enthusiast in learning of anything.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Mendidik atau Menghukum? Membedah Ulang Cara Kita Memperlakukan Anak-anak 'Nakal'

5 Mei 2025   10:23 Diperbarui: 5 Mei 2025   10:23 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Salatiga, ada sekolah yang tak punya bel, tak ada seragam, dan tak mengadakan ujian nasional. Tapi dari sana, lahir para pemuda yang bisa menulis buku, mendirikan komunitas, dan menembus perguruan tinggi.

Nama sekolah itu: Qaryah Thayyibah.

Didirikan oleh Budi Susanto pada 2003, sekolah ini menerima mereka yang drop out, anak jalanan, dan remaja yang dicap "nakal" oleh sekolah formal. Tapi alih-alih mendidik dengan perintah, QT memilih mendidik dengan kesadaran dan partisipasi.

Anak-anak menentukan sendiri apa yang ingin dipelajari. Mereka menulis jurnal refleksi. Mereka bahkan punya "parlemen pelajar" untuk membuat kebijakan sekolah bersama.

Legalitas formalnya memang masih sebatas PKBM, dan sering dipandang sebelah mata. Tapi apa gunanya akreditasi, jika tidak bisa menyelamatkan jiwa anak-anak?

QT mengingatkan kita bahwa pendidikan bukan soal angka di rapor, tapi soal rasa diterima dan dipercaya untuk bertumbuh.

d. Skandinavia: Negara yang Tidak Memusuhi Remajanya

Di Finlandia dan Swedia, remaja tidak dilatih untuk takut pada negara. Sebaliknya, negara datang sebagai teman, bukan penjaga gerbang.

Pendekatan Positive Youth Development (PYD) jadi fondasi di sana. Fokusnya bukan pada kesalahan anak, tapi pada potensi yang bisa ditumbuhkan---melalui competence, confidence, connection, character, dan caring.

Pemerintah membangun Youth Centers, menyediakan konseling gratis, mentorship, bahkan ruang untuk berkarya dalam musik, seni, dan olahraga. Dan hasilnya nyata: sebuah studi di Nordic Youth Research Journal (2021) menunjukkan penurunan depresi remaja hingga 20% berkat pendekatan ini.

Benar, anggaran mereka besar. Tapi bukan mustahil kita meniru semangatnya. Lewat Karang Taruna, ekstrakurikuler sekolah, atau bahkan dukungan CSR, kita bisa mulai dari kecil: mendengar anak-anak, bukan mengatur mereka.

Sebuah Kesimpulan Kecil di Tengah Jalan

Empat pendekatan di atas tidak sempurna. Tapi mereka punya satu kesamaan: memanusiakan anak-anak. Mereka tidak memaksa anak patuh dengan rasa takut, tapi mengajak mereka tumbuh lewat rasa aman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun