Mohon tunggu...
fatrisia
fatrisia Mohon Tunggu... menulis bebas

suka nulis fiksi~

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Bus Kota dan Aku yang Jatuh Cinta

3 Mei 2025   23:57 Diperbarui: 19 Mei 2025   09:27 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku masih terjebak dalam dunia buku Filosopi Kopi ketika bus dalam kota ini tiba-tiba berhenti sejenak sampai seseorang masuk dan mata kami bertatapan dalam sekian detik. Aku memaki dalam hati beberapa detik setelahnya sebab saat lelaki itu tersenyum, aku malah menatapnya datar. Demi apa pun dia harus tahu posisiku yang belum siap berinteraksi, bukan karena sombong. 

Sepanjang perjalanan itu aku hanya berharap lelaki berkemeja biru dengan kaos putih tersebut mau melirik ke belakang, ke tempatku berada. Sayangnya sampai dia turun pada tujuannya, tidak terjadi keajaiban sekecil apa pun dan aku bahkan belum membalas senyum itu. Rasanya sungguh tidak enak.

Besoknya kami bertemu lagi. Sudah kutandai tempatnya menunggu bus yaitu halte di dekat pertamina. Begitu dia masuk, aku langsung memberi senyum lebar. Sayangnya dia sedang berhati-hati agar kedua tongkatnya itu tidak terpeleset, maklum di luar sana sedang hujan. Dia jadi tidak melihatku dan rasanya kecewa. Pasti dia juga sudah lupa wajahku.

Di hari berikutnya, kebetulan aku naik bus di jam yang berbeda dan saat itu banyak kursi yang kosong. Aku sudah tidak berharap bertemu lelaki itu karena ini dua jam lebih lama dari rute yang biasanya. Lalu bus berhenti di dekat mal. Aku hendak turun karena hari ini memang sedang ingin ke toko buku dekat sini. Begitu akan turun, jantungku seolah terhenti saat bersitatap dengan penumpang yang akan naik--si lelaki pakai tongkat penyangga itu. Aku mempersilakannya.

Dalam hati ada dilema, haruskah aku turun atau tetap naik? Aku sampai mencengkram kuat tali totebag yang kusampirkan di bahu. Ingin masuk lagi, tapi terlalu malu pada penumpang lain dan juga pada pak supir bus. Satu helaan napas kecewa lolos dari bibirku begitu kaki ini tetap melangkah keluar. Aku sudah berdiri di halte, menatap bus itu pergi hingga rodanya tidak terlihat lagi.

Harusnya aku lebih berani! Harusnya aku nggak perlu malu! Tapi, apa nggak aneh juga kalau tiba-tiba aku deketin dia padahal dia bisa aja nggak ingat aku?

Perdebatan batin ini sungguh membuatku sedih. Ini bukan lagi tentang membalas senyum. Aku benar-benar ingin mengobrol dengannya, setidaknya saling berkenalan. Di kota yang kecil ini bahkan kami tidak dibiarkan untuk lebih dari sekadar orang asing.

Di hari-hari berikutnya aku memilih menyelesaikan pekerjaan di rumah dibanding mencari suasana kafe, toko buku, atau tempat lainnya seperti hari-hari kemarin. Aku tidak perlu menunggu bus di halte, tetapi masih teringat lagi lelaki itu yang bahkan tidak kutahu nama dan usia bahkan statusnya. Ayolah, itu tiga hal yang penting buat perempuan ketahui selain pekerjaannya juga.

Aku kembali naik bus tiga hari kemudian, tetapi tidak melihat lelaki itu entah saat bus berhenti di halte dekat pertamina ataupun mal.

Aku masih teringat dia dan senyumnya. Aku pasti sudah gila. Segera aku mencari tempat nyaman untuk mengalihkan larutan penyelasan ini. Baru ingat untuk pulang ke rumah saat hari sudah malam.

Suasana kota malam ini terasa indah dan terlalu berbintang untuk hatiku yang melagukan puisi galau. Menulis tentang dia yang bahkan tidak kutahu nama dan entah sedang apa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun