Mohon tunggu...
fatmawati faisol
fatmawati faisol Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Program Doktoral (S3) Universitas Sriwijaya Tahun 2023

Saat ini bekerja di KPP Pratama Palembang Ilir Barat

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Tinjauan Hukum terhadap Gagasan Pemisahan DJP dari Kemenkeu RI

6 Mei 2024   11:00 Diperbarui: 6 Mei 2024   11:32 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) adalah unit eselon satu yang kedudukannya berada dibawah Kementerian Keuangan Republik Indonesia (Kemenkeu RI) artinya dalam melaksanakan tugasnya DJP bertanggung jawab kepada Menteri Keuangan. Saat ini DJP memiliki kurang lebih 44.784 orang pegawai yang tersebar di kantor pelayana pajak seluruh Indonesia.

Menurut   Peraturan Kemenkeu RI Nomor 184/PMK.01/2020 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.01/2017 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Pajak Pasal 81 (1) Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, ditetapkan: a. 34 (tiga puluh empat) Kantor Wilayah; b. 4 (empat) KPP Wajib Pajak Besar; c. 9 (sembilan) KPP Khusus; d. 38 (tiga puluh delapan) KPP Madya; e. 301 (tiga ratus satu) KPP Pratama; dan f. 204 (dua ratus empat) Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan.

Saat ini DJP memiliki kurang lebih 44.784 orang pegawai yang tersebar di kantor pelayanan pajak seluruh Indonesia.  Namun demikian tax rasio pajak masih sangat rendah, sedangkan Indikator Pembayaran Pajak Indonesia tertinggal jauh di peringkat 112 dunia.  Dengan rasio serendah ini, DJP pada akhirnya harus berjuang keras untuk mampu mengonversi nilai Produk Domestik Bruto yang dimiliki oleh Indonesia agar menjadi potensi peningkatan rasio pembayaran pajak di Indonesia. Ralph Van Doorn, Ekonom Senior Bank Dunia untuk Indonesia menyebutkan empat penyebab rendahnya rasio pajak Indonesia. Pertama, ketergantungan pendapatan dari komoditas primer. Kedua, struktur ekonomi didominasi SDA dan UMKM. Ketiga, rendahnya tingkat kepatuhan pajak dan keempat tidak optimalnya kebijakan perpajakan.

Kurang optimalnya kinerja DJP dipengaruhi oleh beberapa faktor. Berdasarkan kajian kelembagaan DJP yang dilakukan oleh AIPEG (Australia Indonesia Partnership for Economic Governance) yang termuat dalam Laporan Tahunan DJP masalah-masalah yang dialami oleh DJP tidak hanya terkendala dalam kualitas sumber daya manusia (SDM) melainkan juga terkendala struktur kelembagaan DJP yang berada di bawah Kementerian Keuangan. Selanjutnya DJP tidak memiliki kewenangan untuk mendesain struktur organisasi dan anggaran. Hal ini mengakibatkan bahwa dalam melakukan tata kelola organisasi dan anggaran, DJP harus memperoleh persetujuan dari beberapa instansi seperti Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, serta Kementerian Sekretariat Negara. 

Sebagai organisasi terbesar yang berada dibawah Kemenkeu RI sudah saatnya DJP berdiri sendiri, ada gagasan untuk memisahkan DJP dari Kemenkeu.  Berbagai negara sudah membentuk atau mentransformasi lembaga otoritas pajak menjadi sebuah lembaga yang lebih otonom  saat ini dikenal dengan nama semi otonom (Semi Autonomous Revenue Authority) yang selanjutnya dikenal dengan SARA. Di negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, Australia, Singapura dan Malaysia lembaga pajak bersifat mandiri, langsung dibawah presiden, bukan di bawah Kementerian keuangan. Di Amerika Serikat Lembaga pajak disebut IRA (Internal Revenue Service), di Jepang disbut Nippon Taxation Corporation (NTC), sedangkan di Australia Lembaga pajak disebut ATO (Australian Taxation Office).[1] Otoritas pajak Singapura Inland Revenue Authority of Singapore (IRAS) merupakan badan perpajakan semi-otonom, badan ini disupervisi secara ketat oleh semacam Dewan Pengawas, di mana Menteri Keuangan bertindak sebagai ketua. IRAS sebagai representasi negara memiliki kewenangan untuk melakukan negosiasi perjanjian pajak, membuat draf undang-undang perpajakan, dan memberikan saran terkait penilaian properti kepada Pemerintah. Di Malaysia disebut The Inland Revenue Board of Malaysia (IRBM) adalah salah satu badan pengumpulan pendapatan utama Kementerian Keuangan, IRBM didirikan sesuai dengan Undang-Undang Dewan Pendapatan Dalam Negeri Malaysia tahun 1995 untuk memberikan otonomi yang lebih besar khususnya dalam pengelolaan keuangan dan personalia serta untuk meningkatkan kualitas dan efektivitas administrasi perpajakan. Departemen Pendapatan Dalam Negeri Malaysia menjadi dewan pada tanggal 1 Maret 1996, dan sekarang secara resmi dikenal sebagai IRBM.  

Negara-negara lainnya yang telah membentuk otoritas badan sendiri seperti  Albania, Argentina, Bolivia, Botswana, Bulgaria, Kanada, Kolombia, Kroasia, Republik Ceko, Denmark, Ekuador, Estonia, Ethiopia, Finlandia, Ghana, Guatemala, Guyana, Hongaria, Islandia, Italia, Jamaika,  Kazakhstan, Kenya, Latvia, Lesotho, Malawi, Mauritius, Meksiko, Belanda, Norwegia, Peru, Rumania, Rwanda, Sierra Leone, Slovenia, Afrika Selatan, Spanyol, Swaziland, Swedia, Tanzania, Uganda, Inggris, Venezuela, Zambia, dan Zimbabwe.

Kinerja lembaga perpajakan seperti yang diterapkan di Amerika Serikat, Jepang, Australia, Singapura, Malaysia dan negara lainnya diatas sangat efektif dalam mengumpulkan penerimaan pajak dan mampu menghasilkan tax ratio yang jauh melampaui tax ratio Indonesia. Artinya dengan adanya badan otoritas pajak ini mampu menaikkan penerimaan negara dari sektor perpajakan.

Akibat hukum dari kedudukan DJP dibawah Kemenkeu RI adalah dalam menentukan kebijakan dibidang perpajakan DJP harus melalui birokrasi yang panjang sehingga tidak efisein, efektif dan membutuhkan waktu yang lama. Sementara itu menurut tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) trusted government sangat penting agar pemerintahan efektif, efisiensi, transparansi, responsibilitas, kewajaran dan kesetaraan dan akuntabilitas. Pemerintahan yang baik, good governance, telah menjadi norma. Prinsip keterbukaan, akuntabilitas, transparansi dan inklusifitas menjadi sebuah landasan yang harus dipakai dalam mengelola pemerintahan yang baik. 

Pemerintah di Indonesia sudah memahami bahwa dimasa yang akan datang, peran pemerintahan akan berubah, namun ada masalah besar yaitu adanya kesenjangan antara pemahaman good governance dengan kemaunan untuk berubah. Dengan demikian isue good governance di lingkungan pemerintahan sudah mengemuka, tetapi dalam praktek masih sangat terbatas. Salah satu Upaya dikemukakan untuk menggambarkan sejauhmana perubahan menuju good governance adalah upaya merampingkan organisasi dalam pemerintahan meuju kepada birokrasi yang lebih efisien.               

Menurut William Crandall diperlukan reformasi dan moderenisasi lembaga-lembaga pemerintah utuk memberikan layanan yang lebih efektif dengan biaya lebih rendah kepada masyarakat, dimana kebutuhan masyarakat berubah dengan cepat. Oleh karena itu terdapat kecenderungan pemerintah untuk meningkatkan perpajakan menjadi otonomi dari departemennya. Prinsip dasarnya adalah bahwa otonomi tersebut dapat menghasilkan kinerja yang lebih baik dengan menghilangkan hambatan terhadap pengeloaan yang efektif dan efisien dengan tetap menjaga akuntabilitas dan transparansi.

Semakin meningkatnya otonomi suatu lembaga , maka semakin rendah kendali atau campur tangan pemerintah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun