Fenomena publikasi ilmiah, paten, dan konferensi akademik yang semula menjadi bagian dari aktivitas keilmuan, kini perlahan berbalik wajah dan semakin terasa menjadi beban. Di berbagai perguruan tinggi, mahasiswa pascasarjana kerap mengeluhkan kewajiban publikasi sebagai syarat kelulusan. Untuk dapat melaksanakan sidang tesis atau disertasi, mahasiswa harus terlebih dahulu menerbitkan artikel di jurnal internasional bereputasi. Masalahnya, biaya yang diperlukan tidaklah sedikit. Article Processing Charge (APC) untuk jurnal yang terindeks Scopus atau Web of Science bisa mencapai jutaan hingga puluhan juta rupiah per artikel.
Sebagai contoh, biaya publikasi (APC) di Journal of Science Education and Technology (Q1, Springer Nature) mencapai 2490 GBP / $3490 USD / 2790 EUR  kalau dirupiahkan sekitar Rp50 jutaan per artikel (diakses pada laman Springer Nature: https://link.springer.com/journal/10956, 2025). Sementara itu, Geoforum (Q1, Elsevier) mengenakan biaya sekitar USD 3,500 (belum termasuk pajak) atau setara Rp50 juta lebih (diakses pada laman Elsevier: https://www.sciencedirect.com/journal/geoforum, 2025) dan Renewable and Sustainable Energy Reviews (Q1, Elsevier) bahkan mencapai USD 5,070 per artikel, sekitar Rp80 juta (diakses pada laman Elsevier: https://www.sciencedirect.com/journal/renewable-and-sustainable-energy-reviews, 2025). Angka-angka ini menunjukkan betapa tingginya biaya publikasi bereputasi internasional.
Kondisi serupa juga dirasakan dosen. Untuk naik jabatan fungsional, seorang dosen dituntut memiliki rekam jejak publikasi yang memadai, terutama di jurnal bereputasi internasional. Akan tetapi, gaji dosen, apalagi yang masih berstatus non-PNS (Pegawai Negeri Sipil), jauh dari cukup untuk menutup biaya publikasi tersebut. Akibatnya, banyak dosen terjebak dalam paradoks: menulis dan meneliti dengan segala keterbatasan, namun untuk menyebarkan hasil pemikirannya justru harus mengeluarkan biaya besar. Sementara itu, universitas dan kementerian tetap menuntut pencapaian publikasi sebagai indikator mutu.
Fenomena ini jelas menimbulkan pertanyaan besar untuk siapa sesungguhnya ilmu dipublikasikan? Apakah untuk kemaslahatan umat atau justru untuk menguntungkan segelintir pihak? Realitas hari ini menunjukkan bahwa publikasi, paten, dan konferensi telah bergeser menjadi komoditas. Aktivitas akademik yang seharusnya mulia dan menjadi jalan pencerahan kini berubah menjadi industri yang sarat dengan motif material.
Jika ditelusuri lebih dalam, akar masalah ini tidak bisa dilepaskan dari sistem kapitalisme yang mendominasi tata kelola pendidikan global. Kapitalisme meletakkan ukuran keberhasilan pada keuntungan material. Segala sesuatu yang bisa menghasilkan profit, akan dijadikan komoditas, termasuk ilmu pengetahuan. Publikasi ilmiah yang seharusnya menjadi media penyebaran ilmu justru dipagari dengan biaya tinggi. Pengetahuan yang mestinya terbuka untuk semua orang kini dikunci di balik paywall dan artikel berbayar. Bahkan, konferensi akademik kerap lebih menyerupai industri sertifikat, di mana peserta membayar mahal untuk tampil sejenak, ketimbang forum yang sungguh-sungguh menjadi ajang pertukaran gagasan.
Kapitalisme pula yang melahirkan obsesi pada kuantitas. Dosen dan mahasiswa dituntut mengejar indeksasi, sitasi, dan peringkat kampus di level internasional. Kualitas riset dan relevansinya bagi masyarakat sering kali terpinggirkan. Penelitian yang berpotensi memberi solusi nyata bagi persoalan bangsa dianggap kurang bergengsi bila tidak terbit di jurnal berindeks tinggi. Inilah yang membuat akademisi terjebak dalam lingkaran setan: berusaha memenuhi tuntutan administratif dan sistem penilaian, sambil menanggung beban finansial yang tidak ringan.
Paradoks ini pada akhirnya melahirkan krisis motivasi. Banyak mahasiswa dan dosen menulis bukan lagi karena dorongan intelektual untuk berbagi ilmu, melainkan sekadar memenuhi syarat. Ilmu yang semestinya menjadi jalan untuk memerdekakan manusia dari kebodohan, kini justru menjadi beban yang mengekang kebebasan akademisi.
Islam memandang ilmu dengan paradigma yang sangat berbeda. Dalam Islam, ilmu adalah cahaya dan amanah yang harus disebarkan tanpa diskriminasi. Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa yang mempelajari suatu ilmu (belajar agama) yang seharusnya diharap adalah wajah Allah, tetapi ia mempelajarinya hanyalah untuk mencari harta benda dunia, maka dia tidak akan mendapatkan wangi surga di hari kiamat." (HR. Abu Daud no. 3664, Ibnu Majah no. 252 dan Ahmad 2: 338. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Hadis ini menegaskan bahwa aktivitas belajar dan mengajar adalah amal ibadah, bukan komoditas yang diperjualbelikan.
Sejarah peradaban Islam membuktikan hal itu. Pada masa keemasan, pusat-pusat ilmu seperti Baitul Hikmah di Baghdad, madrasah-madrasah di Andalusia, atau perpustakaan-perpustakaan di Damaskus dan Kairo dibangun dengan dukungan penuh negara. Ilmu disebarkan secara terbuka, tanpa ada istilah membayar untuk bisa menulis, membaca, atau mengakses pengetahuan. Negara menanggung biaya pendidikan dan riset melalui baitul mal, sehingga para ilmuwan bebas berkarya tanpa dibebani biaya publikasi atau konferensi. Hasilnya, lahirlah ribuan karya monumental di bidang sains, filsafat, kedokteran, hingga teknologi yang masih dikaji hingga kini.
Faktanya, sistem politik dan ekonomi yang mendominasi dunia hari ini adalah sistem kapitalisme. Sistem inilah yang membentuk wajah pendidikan modern, termasuk di negeri-negeri Muslim. Selama kapitalisme dijadikan dasar, ilmu akan diposisikan sebagai komoditas yang tunduk pada angka pasar. Publikasi, paten, dan konferensi bukan lagi sarana penyebaran ilmu, melainkan ladang bisnis dengan biaya tinggi. Akibatnya, dosen dan mahasiswa terpaksa mengejar kuantitas publikasi demi syarat administratif, sembari menanggung beban finansial yang tidak ringan.