Mohon tunggu...
Fatimatun ZahroAkhiyar
Fatimatun ZahroAkhiyar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Government Science'20

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mewujudkan Remaja Milenial Cerdas dalam Menyikapi Terorisme dan Radikalisme di Media Sosial

16 April 2021   17:30 Diperbarui: 16 April 2021   17:45 701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perkembangan teknologi yang serba canggih di era revolusi industri 4.0 menimbulkan banyaknya sebuah revolusi, inovasi ataupun perubahan yang serba menggunakan digital elektronik. Penggunaan sosial media, ataupun inovasi yang serba elektronik digital banyak menyita perhatian publik. Sehingga segala aktivitas, berita, permasalahan dan lainnya dapat dipantau secara online melalui media sosial. Hal tersebut tentunya memiliki dampak yang positif ataupun negatif terhadap kemajuan negara Indonesia. Namun, ada beberapa oknum yang menyalahgunakan kecanggihan teknologi. Salah satunya, yaitu media sosial sebagai sarana untuk menyebarkan isu-isu dan propaganda yang menyesatkan masyarakat Indonesia, khususnya para remaja. Remaja menjadi target incaran utama para oknum yang tidak bertanggung jawab untuk menyebarkan ajaran-ajaran sesat yang melenceng dari ideologi Pancasila. Mengutip Santrock (2003), dalam Jurnal Mutrafin dan Ahmad Kharis, masa remaja dapat diartikan sebagai transisi perkembangan dari masa anak-anak menuju dewasa, termasuk dalam perubahan kognitif, biologis, dan sosial emosional. Hal itulah yang menyebabkan remaja menjadi sebuah target dalam ajaran-ajaran sesat, seperti radikalisme dan terorisme. Dengan ini, keadaan remaja yang bisa dikatakan masih “tanggung” sering dijadikan pengaruh radikalisme dan terorisma karena remaja pada umumnya masih berada ditahap mencari pijakan atas karakter, sikap, jati diri, dan bahkan ideologinya.  

Untuk itu, kita perlu mengetahui apa itu radikalisme dan terorisme? Radikalisme adalah sebuah aliran atau paham yang mendambakan suatu perubahan secara penuh yang bersifat revolusioner dengan memutarbalikkan nilai-nilai yang ada dengan drastis melalui tindakan kekerasan dan juga aksi-aksi yang melampaui batas. Kemudian, kita bisa mengidentifikasikan orang-orang yang bersikap radikalisme melalui beberapa ciri sikap dan pemahaman radikalnya, yaitu memiliki sifat intoleran di mana ia tidak mau menghargai keyakinan dan pendapat orang lain, bersifat fanatik yang merasa bahwa dirinya merupakan sosok yang paling benar dan orang lain selalu salah, bersifat eksklusif yang mana ia membedakan dirinya dari umat islam atau agama lainnya, serta yang terakhir revolusioner, yang mana mereka menggunakan kekerasan sebagai cara untuk mencapai tujuan. Sedangkan, terorisme berasal dari kata bahasa inggris “to Terror” dan bahasa latin “Terrere” yang memiliki arti gemetar atau menggetarkan. Jadi, pengertian terorisme merupakan suatau tindakan atau ancaman yang dilakukan dengan cara kekerasan dan ditujukan kepada sasaran  acak yang dapat menciptakan rasa ketakutan, kerusakan, ketidakpastian dan keputusan massal. Dalam UU No.15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, secara garis besar dijelaskan bahwa tindakan terorisme merupakan segala perbuatan yang memenuhi unsur tindak kekerasan dan menimbulkan korban yang bersifat massal serta mengakibatkan kerusakan terhadap objek vital strategis ataupun fasilitas publik dan internasional.

Namun, apakah radikalisme selalu bermakna negatif? Menurut saya pribadi, radikalisma tidak selalu mengarah kepada hal yang negatif. Seperti yang kita ketahui, radikalisme itu berasal dari kata “radix” yang berarti akar. Arti tersebut diperluas lagi yang bermakna keyakinan, suatu pegangan yang kuat, serta dapat diartikan juga dengan pencipta ketentraman dan perdamaian. Dari hal ini, dapat  disimpulkan bahwa radikal merupakan pemahaman atau cara berpikir secara mendalam layaknya akar, serta memegang teguh dan mempertahankan sebuah keyakinana dam kepercayaannya. Hal ini diperkuat dengan pernyataan ketua umum Dewan Masjid Indonesia, yaitu Dr. dr. Tarmidzi Taher, yang menyebutkan bahwa radikalisme itu mempunyai makna pembaharuan (Tajdid) dan perbaikan (Islah), seperti suatu semangat yang mengarah kepada kebaikan. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, para pemikir radikal telah menjadi pendukung reformasi jangka panjang. Akan tetapi, Dawinsha mendefinisikan radikalisme dengan mengaitkannya pada teroris, dimana dirinya memakai kata radikalisme untuk membedakan keduanya. Jadi menurutnya, pembeda diantara kedua itu adalah radikalisme merupakan kebijakan, sedangkan terorisme itu merupakan bagian dari kebijakan yang radikal. Menurut Dawinsha, radikalisme merupakan sikap jiwa yang menuntunnya untuk melakukan tindakan yang memiliki tujuan untuk melemahkan dan mengubah tatanan serta menggantinya dengan sebuah gagasan baru. Makna ini juga menunjukkan bahwa radikalisme adalah pemahaman negatif dan dapat menjadi berbahaya sebagai ekstrim kanan ataupun kiri.

Dari berbagai sudut pandang di atas, dapat disimpulkan bahwa makna radikalisme itu merupakan suatu cara berpikir atau pandangan yang menginginkan suatu perubahan, peningkatan mutu, perbaikan dan melakukan perdamaian di mana nantinya seluruh kalangan masyarakat dapat hidup secara tentram dan rukun. Namun, seiring berjalannya waktu perkembangan tentang pemahaman radikalisme tanpa disengaja telah melenceng dari makna sebelumnya. Hal ini disebabkan kurangnya pemahaman dan pengetahuan masyarakat terkait apa yang dilakukan kelompok radikal dan cenderung tidak pernah mencari tahu kebeneran yang ada. Gerakan radikal yang berujung pada aksi terorisme merupakan suatu hal yang harus dikritisi dan diwaspadai agar tidak terjerat ke dalam hal tersebut. Hal ini dikarenakan tindakan terorisme bukan hanya berkaitan dengan kekerasan saja, melainkan juga menyerang kondisi fisik psikologis individu ataupun kelompok yang dapat mengakibatkan ketakutan, kecemasan, dan keresahan bagi masyarakat Indonesia.

Banyak kasus yang terjadi di Indonesia yang berkaitan dengan radikalisme dan terorisme, mulai dari peristiwa Bom Bali hingga kasus terbaru saat ini, seperti Bom Gereja Katederal di Makassar dan kasus Terorisme di Mabes Polri. Di lansir dari antaranews.com BNP-T merilis  survei indeks potensi radikalisme yang terjadi di Indonesia pada tahun 2020 mencapai 14,0 ( skala 0-100) yang mana jika dibandingkan dengan tahun 2019 turun 12,2 persen, yakni 38,4 (skala 0-100). Meskipun peringkat kasus ini menurun, tetapi kita tetap harus waspada karena radikalisme ini sudah meluas di dunia maya, terutama untuk mengincar generasi milenil. Namun, untuk kasus terorisme justru berbanding terbalik. Di lansir dari bisnis.com  Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi mencatat kecurigaan mengenai kasus terorisme meningkat sebanyak 70 persen pada tahun 2020. Dilansir dari pikiran-rakyat.com pelaku dari kasus Teror Mabes Polri merupakan seorang wanita, berinisial ZA yang berusia 25 tahun. Hal yang mengejutkannya terkuak fakta bahwa pelaku merupakan mantan mahasiswa semester 5 yang telah dikeluarkan dari kampusnya. Dari hasil penyelidakan, dibuktikan bahwa kasus ZA ini dikategorikan sebagai lone wolfe yang artinya bergerak sendiri dan juga dirinya memiliki ideologi radikal ISIS, hal ini terbukti dengan unggahan pelaku di Instagramnya. Disebutkan bahwa alasan dibalik terjadinya kasus ini merupakan jihad pelaku ZA, yang mana ia tulis di dalam surat wasiatnya. Selain itu, ia menyebutkan pemerintah itu thogut, yang artinya “orang yang harus disembah”, melarang keluarganya menggunakan bank atau kartu kredit karena riba, meminta orang tuanya untuk berhenti menjadi Dawis (Dasa Wisma) karena membantu kepentingan yang ia sebut thagut tadi, dan masih banyak pesan-pesan yang menyimpang ia sampaikan melalui suratnya.

Dari contoh kasus tersebut, menurut saya seorang remaja terutama mahasiswa sudah seharusnya bisa berpikir kritis mengenai fenomena dan isu yang terjadi, serta selektif dan perlu mengkaji terlebih dahulu dalam memilih komunitas, organisasi dan lain sebagainya. Kemudian, kasus ini menyebar dengan cepat dan menjadi trending topik di media sosial. Banyak orang-orang berpendapat seputar kasus ini melalui media sosialnya, dalam hal ini kita juga harus bijak menggunakan media sosial karena bisa saja melalui kejadian kasus teror yang trending ini, menjadi kesempatan bagi pelaku untuk menyebarkan paham-paham dan doktrin yang menyesatkan. Mengingat bahwa sudah banyak penyimpangan yang terjadi di media sosial seperti berita hoax, propaganda, isu SARA, ujaran kebencian, provokasi, yang disebabkan karakteristik media sosial terlalu bebas sehingga akurasi konten sangat perlu kita cermati ulang agar tidak mudah terpengaruh.

Melihat permasalahan terkait radikalisme dan terorisme diatas, kita harus mengetahui faktor penyebab mengapa di kalangan remaja milenial ini mudah untuk dirasuki dengan paham-paham terkait terorisme dan radikalis. Pertama, remaja tidak memiliki proteksi di dalam dirinya, hal ini terjadi karena biasanya remaja enggan untuk bertanya dan mencari tahu terkait doktrin yang ia terima kepada dosen, guru, ataupun mentornya sehingga membuat remaja tersebut menerima doktrin itu tanpa adanya proses filter atau selektif. Kedua, lemahnya pengetahuan dan wawasan terkait nilai-nilai agama yang di dalam Kitab Suci. Mempelajari ilmu agama tidaklah mudah, karena kita membutuhkan seorang pembimbing seperti guru, dosen agar tidak tersesat dalam pemahaman terkait apa yang kita pelajari karena radikalisme dan terorisme dikalangan remaja itu muncul dari beberapa oknum yang salah menafsirkan ajaran agama yang ada di Kitab Suci. Ketiga, berasal dari faktor psikologi-sosial, seperti krisis psikologis, sulit dalam melakukan identifikasi sosial, pencarian status, dan dendam terhadap musuhnya sendiri. Keempat, kurangnya perhatian orang tua. Di masa remaja ini merupakan masa transisi yang sulit dari anak-anak menuju dewasa, yang mana anak-anak butuh tempat untuk mencurahkan hatinya, perhatian orang tuanya, serta bimbingan langsung dari keluarga dan orang tuanya. Terutama bagi remaja yang introvert, mereka cenderung memendam perasaannya sendiri dan tidak ingin orang lain tahu tentang dirinya, maka perlu perhatian khusus orang tuanya untuk inisiatif menanyakan padanya dan menjadi PR bagi orang tuanya untuk lebih bisa mengenali karakter si anak tersebut. Kelima, terpengaruh oleh lingkungan sosial, hal ini terjadi karena lingkungan di sekitar remaja termasuk ke dalam aliran yang tidak benar, sehingga memudahkan remaja terpengaruh. Keenam, kurangnya tingkat penalaran dan berpikir kritis. Seorang remaja harus memiliki nalar kritis agar tidak mudah terpengaruh dan selektif dalam bertindak. Ketujuh, kontrol penggunaan media masa yang semakin canggih, ini merupakan faktor yang paling berpengaruh, karena di zaman yang canggih remaja semakin mudah mengaksesnya dengan bebas.

Dengan demikian, melihat mirisnya kasus-kasus dan tindak kejahatan yang kompleks dalam radikalisme dan terorisme, kita harus bisa membendunginya dengan berbagai cara. Untuk upaya penangkalannya terdapat dua strategi yakni kontra radikalisme dan deradikalisme. Kontra radikalisme ini merupakan upaya preventif, yang mana adanya suatu arahan kepada seluruh elemen masyarakat melalui kegiatan sosialisasi, kampanye, penyuluhan, dan sebagainya. Hal ini bertujuan untuk membangun kesadaran masyarakat bahwa radikalisme dalam bentuk teror itu adalah sebuah tindak kekerasan. Sedangkan deradikalisme itu berupaya untuk mengatasi radikalisme yang bersifat perbaikan atau penyembuhan terhadap pihak pelaku yang terkait dan terlibat dalam suatu gerakan (Kusman dkk, 2015). Selain itu, ada tiga institusi yang sangat penting berperan untuk melindungi generasi milenial. Pertama, pendidikan, hal ini memegang peranan penting di kalangan milenial, seperti lembaga pendidikan, guru, dosen, kurikulum dalam kebangsaan, toleran dan sikap moderat. Kedua, keluarga, karena peran orang tua sangat penting dalam menanamkan rasa cinta dan kasih sayang serta memberikan arahan seputar diskusi ataupun konsultasi. Ketiga, komunitas, banyak komunitas yang bisa mengarahkan remaja melalui para tokoh masyarakat melalui lingkungannya untuk menciptakan ruang kondusif bagi terciptanya sebuah perdamaian dalam gernerasi muda. Dalam memilih komunitas atau organisasi harus selektif agar terhindar dari komunitas/organisasi yang menyesatkan. Kemudian, negara harus mempertimbangkan beberapa hal untuk mengantisipasi semakin maraknya radikalisme dan terorisme pada remaja, yakni sebagai berikut:

  • Merancang metode dan materi deradikalisasi yang signifikan dengan sikap dan karakteristik psikologis remaja.
  • Memperluas jangkauan program deradikalisasi ke wilayah-wilayah yang lebih pribadi seperti keluarga.
  • Sesuai dengan Perpres No. 12 tahun 2012 tentang pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNP-T). Dalam hal ini perlu ditinjau lebih lanjut lagi, karena rencana BNP-T selama ini hanya melibatkan ormas dewasa yang saja dan masih sedikit jumlah remaja yang terlibat dalam rencana deradikalisasi.
  • Mengupayakan untuk meningkatkan literasi media pada remaja.

DAFTAR PUSTAKA :

Mutrofin, M., & Kharis, A. (2020). Deradikalisasi Kaum Remaja dalam Membendung Radikalisme Media Sosial. Jurnal Sosiologi Agama, 14(2)

Aisy, B. R., Ibrahim, D. O., Intang, K. K. H., & Tindage, M. A. (2019). Penegakan Kontra Radikalisasi melalui Media Sosial oleh Pemerintah dalam Menangkal Radikalisme. Jurnal Hukum Magnum Opus, 2(1)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun