Pendahuluan:
Masalah sampah, terutama sampah plastik, telah menjadi ancaman serius bagi lingkungan di Indonesia. Setiap tahun, Indonesia menghasilkan sekitar 67,8 juta ton sampah, di mana 15% di antaranya adalah sampah plastik yang sulit terurai dan mencemari ekosistem darat serta perairan (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2023). Dalam upaya mengatasi krisis ini, pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan, termasuk pelarangan plastik sekali pakai, peningkatan sistem daur ulang, serta penerapan pajak lingkungan sebagai mekanisme kontrol ekonomi. Namun, pertanyaan utama yang muncul adalah apakah regulasi-regulasi ini benar-benar efektif dalam mengurangi timbulan sampah dan meningkatkan kualitas lingkungan? Evaluasi terhadap kebijakan pengelolaan sampah di Indonesia mengungkapkan bahwa meskipun terdapat langkah-langkah progresif, tantangan dalam implementasi, pengawasan, dan partisipasi masyarakat masih menjadi hambatan utama.
 Pelarangan Plastik Sekali Pakai: Langkah Maju yang Masih Dihadang Tantangan
Beberapa daerah di Indonesia telah mengambil langkah progresif dengan menerapkan kebijakan pelarangan plastik sekali pakai guna mengurangi pencemaran lingkungan. Salah satu kebijakan yang cukup menonjol adalah Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 142 Tahun 2019, yang secara resmi melarang penggunaan kantong plastik sekali pakai di pusat perbelanjaan, toko swalayan, dan pasar rakyat. Kebijakan ini bertujuan untuk menekan produksi sampah plastik yang berkontribusi besar terhadap pencemaran lingkungan, khususnya di kawasan perkotaan yang memiliki tingkat konsumsi tinggi.
Namun, meskipun kebijakan ini telah diberlakukan, efektivitasnya masih menjadi tanda tanya besar. Menurut laporan( SWA.co.id) meskipun pelarangan plastik sekali pakai telah diterapkan secara resmi, implementasi di lapangan masih menghadapi berbagai tantangan signifikan. Salah satunya adalah kurangnya ketersediaan alternatif yang terjangkau bagi masyarakat dan pelaku usaha. Banyak pedagang di pasar rakyat masih kesulitan beralih ke bahan pengganti yang lebih ramah lingkungan karena harga kemasan alternatif, seperti tas kain atau kantong berbahan biodegradable, masih relatif mahal. Akibatnya, banyak dari mereka tetap menggunakan kantong plastik secara sembunyi-sembunyi atau memberikan opsi plastik dengan biaya tambahan, yang tidak sepenuhnya menghilangkan masalah utama.
Selain itu, rendahnya kesadaran masyarakat juga menjadi faktor penghambat utama dalam keberhasilan kebijakan ini. Meskipun sosialisasi telah dilakukan, banyak konsumen yang masih terbiasa dengan kenyamanan plastik sekali pakai dan enggan beralih ke opsi lain yang dianggap lebih merepotkan. Hal ini semakin diperparah dengan kurangnya mekanisme pengawasan yang ketat dan sistem sanksi yang tegas bagi pelanggar, sehingga masih banyak ditemukan toko atau pasar yang diam-diam tetap menyediakan plastik sekali pakai.
Lebih jauh, efektivitas kebijakan ini juga sangat bergantung pada dukungan infrastruktur daur ulang yang memadai. Tanpa sistem pengelolaan sampah yang baik, larangan plastik sekali pakai hanya menjadi solusi setengah hati karena masih banyak sampah plastik lainnya yang tidak terkelola dengan baik. Studi yang dilakukan oleh World Bank (2021) menunjukkan bahwa hanya sekitar 9% dari total sampah plastik di Indonesia yang berhasil didaur ulang, sementara sisanya berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA) atau mencemari lingkungan. Ini menunjukkan bahwa kebijakan pelarangan plastik sekali pakai perlu dibarengi dengan perbaikan sistem pengelolaan sampah yang lebih holistik, bukan hanya sekadar melarang tanpa solusi yang komprehensif.
Sistem Daur Ulang: Upaya yang Belum Maksimal dalam Menekan Timbulan Sampah
Daur ulang merupakan salah satu strategi utama dalam pengelolaan sampah yang berkelanjutan, tetapi implementasinya di Indonesia masih jauh dari optimal. Idealnya, sistem daur ulang dapat mengurangi jumlah sampah yang berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA) serta mengubah limbah menjadi sumber daya bernilai ekonomi. Namun, pada kenyataannya, tingkat daur ulang di Indonesia masih tergolong rendah, dan sebagian besar sampah plastik serta sampah anorganik lainnya masih berakhir sebagai limbah yang mencemari lingkungan.
Menurut penelitian yang dipublikasikan dalam Jurnal Aspirasi (DPR RI), bank sampah memiliki peran yang sangat signifikan dalam upaya pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Bank sampah memungkinkan warga untuk mengumpulkan sampah yang masih memiliki nilai jual, seperti plastik, kertas, dan logam, yang kemudian dapat didaur ulang oleh industri pengolahan. Sayangnya, efektivitas program ini masih terbatas akibat rendahnya tingkat partisipasi masyarakat. Banyak warga yang belum terbiasa memilah sampah sejak dari rumah, baik karena kurangnya kesadaran, minimnya edukasi, maupun karena tidak adanya insentif yang cukup menarik untuk mendorong kebiasaan ini.
Bank sampah berperan penting dalam pengelolaan sampah berbasis masyarakat, memfasilitasi warga untuk mengumpulkan sampah bernilai jual. Namun, partisipasi masyarakat masih rendah akibat kurangnya kesadaran dan edukasi. Infrastruktur daur ulang juga belum memadai, yang jadi penghalang untuk meningkatkan efisiensi.