06.12
Adra terbangun dengan denyut ringan di pelipis dan getar ponsel yang tak henti di sisi tempat tidur.
06.12 pagi.
Jendela kaca tinggi di apartemen lantai 28 mengintipkan langit Jakarta yang kelabu, berkabut, dan nyaris beku. Hening, seperti pagi yang menahan napas sebelum hari mulai menggila.
Ia membaca email dari ponselnya:
"We're counting on you today. Make us proud, Adra."
-- Alistair, Regional Director.
 Ia menghela napas, bangkit. Di meja rias, blazer putih tergantung rapi, sepatu hak tinggi sudah dipoles, dan di layar tablet, slide presentasi terakhir menunggu untuk ditinjau sekali lagi.
Air dingin membasuh wajahnya di kamar mandi. Di cermin, pantulan matanya memandang kosong. Kantung mata samar. Sudut bibir mengatup. Ia menghela napas panjang sambil merapikan rambut dengan presisi militer. Tak ada ruang untuk kekeliruan hari ini.
Jam 10 siang, ia akan berdiri di hadapan jajaran eksekutif global dari klien kosmetik terbesar Asia. Kampanye ini bukan hanya soal angka. Ini adalah jejak yang akan menempatkannya di kursi direktur kreatif.
Tapi ketika ia menatap dirinya sendiri... ada sesuatu yang samar. Sebuah bayangan rasa. Seperti pernah mengalami pagi ini sebelumnya, tapi dalam versi yang berbeda.
***
Mama, Bangun...
Malamnya, ia tertidur di sofa, kelelahan sehabis berlatih presentasi.
Lalu membuka mata lagi---di tempat lain.
Kasur tipis. Sprei berwarna pastel dengan motif bunga pudar. Bau nasi goreng. Suara televisi pagi menayangkan lagu anak-anak.
Dan tangan mungil menarik-narik lengan bajunya.
"Mamaaa, bangun! Hari ini ulang tahun Kakak!"
Seorang bocah laki-laki tersenyum riang. Pipinya montok. Tubuhnya hangat.
Adra terdiam. Tangannya menyentuh rambut si kecil, ragu. Ruangan ini... rumah ini... bukan apartemen kaca dan baja. Ini rumah sederhana, plafon rendah, rak piring dari kayu tua, dan tirai bunga yang setengah robek.
Seorang pria muncul dari dapur, membawa dua cangkir teh.
Wajahnya akrab, meski asing.
"Sayang, kamu tidur pulas banget. Aku udah siapin sarapan. Nanti siang kita potong kue, ya?"
Adra hanya menatap, lidahnya kelu. Jari-jarinya gemetar kecil. Ia berdiri, mencari ponsel---tak ada sinyal. Tak ada alarm. Tak ada email dari Alistair.
Dan tidak ada blazer putih di lemari. Hanya daster sederhana dan baju anak-anak.
***
Dua Adra
Hari berganti minggu. Dan Adra---jika itu masih bisa disebut namanya---mulai terbiasa hidup dua kehidupan.
Pagi ia bangun sebagai manajer kreatif berkilau, mengenakan makeup sempurna dan berdiskusi dalam bahasa Inggris tentang demografi pasar.
Malamnya, ia tidur dan kembali bangun sebagai ibu dua anak, memasak sambil menonton sinetron sore, mencuci baju dengan tangan, dan bertanya-tanya bagaimana cicilan motor bulan ini akan dibayar.
Yang membuatnya terguncang bukan hanya perbedaan dunia itu---tetapi kenyataan bahwa semuanya terasa nyata.
Rasa lapar. Sentuhan kulit anaknya. Lelah di mata. Tawa rekan kerja.
Bahkan emosi yang muncul berbeda.
Di kantor, ia merasa tajam, cepat, terampil, dihormati.
Di rumah, ia merasa... penuh. Dicintai. Diperlukan.
Dan yang lebih mengganggu, masing-masing Adra punya keinginan yang berbeda.
Satu ingin menyerah dan pulang.
Satu ingin lari dan terus naik.
***
Tabrakan
Pada suatu malam, Adra duduk termenung di dapur rumah kecil, anak-anak sudah tidur, suaminya sudah lelap. Ia memandang dinding, lalu melirik kalender.
Tanggal 28.
Hari ulang tahun anak sulungnya.
Ia janji akan memasak, memotong kue, dan menyanyikan lagu ulang tahun bersama.
Lalu ketika ia terbangun pagi harinya di dunia satunya---apartemen lantai 28---ia melihat email:
"Final pitch with executive board moved up to 11AM sharp. Good luck."
Tanggal 28.
Pukul 11.00.
Dua dunia. Dua waktu.
Satu tubuh.
Satu jiwa.
***
Pilihan
Di kantor, ia duduk di ruang tunggu. Rambut disanggul. Lipstik merah gelap. Suara detak hak sepatu lain mengisi lorong.
Di rumah, ia berdiri di dapur, pisau di tangan, kue cokelat buatan sendiri menunggu di atas meja. Anak-anak bernyanyi pelan di ruang tengah.
Kedua dunia saling menariknya seperti benang yang siap putus.
Ia menutup mata.
Jam berdentang.
11.00.
Gelap.
***
Putih
Adra berdiri di sebuah ruangan putih. Tak ada dinding, tak ada suara.
Hanya dua pintu bercahaya.
Satu bertuliskan: PITCH
Satu lagi bertuliskan: PULANG
Tangannya gemetar.
Air mata menetes.
Ia tidak tahu apakah ia harus memilih satu. Atau apakah dunia akan runtuh jika ia memilih keduanya.
Atau... mungkin tidak perlu memilih sama sekali?
Lalu pintu-pintu itu perlahan memudar.
Gelap.
***
Realita
Orang-orang berkata Adra hilang.
Di kantor, ia tidak hadir di presentasi.
Di rumah, suaminya hanya mendapati ranjang kosong.
Tapi di satu tempat---entah di mana---ada seorang anak kecil yang duduk di pelukan ibunya, tertawa sambil meniup lilin ulang tahun.
Dan di tempat lain, sebuah kampanye sukses besar diluncurkan.
Tapi tidak ada nama Adra dalam kredit.
Hanya bayangan seseorang yang pernah berdiri di dua dunia, dan memilih... diam-diam.
TAMAT
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI