Sebagai pendahuluan dalam pemikiran ini, saya berasumsi bahwasanya seorang mahasiswa sudah seharusnya memiliki pikiran yang terbuka dalam menyikapi sekaligus menanggapi berbagai paradigma, ideologi maupun pemikiran. Intelektualitas sudah seharusnya menjadi dasar sekaligus acuan bagi para mahasiswa, termasuk dalam konteks ini ialah pemikiran Islam klasik. Kajian tentang Islam sebagai agama sekaligus sistem sosial dan politik menjadi salah satu medan penting bagi mahasiswa, terutama ditengah perbincangan lokal, regional, maupun global yang semakin kompleks. Tulisan ini sedikit banyak akan menelaah dan menjadi pintu masuk untuk memperdalam bagaimana pemikiran klasik dan kontemporer perihal sudut pandang islam dari segi politik berkembang, dikritisi, dan dihidupi oleh berbagai golongan masyarakat dari berbagai lini masa, terutama muslim.Â
Dalam tulisan yang berjudul "Islam: An Historical Introduction", karya dari Gerhard endress tersebut tidak hanya berisi Sejarah islam sebagai kronologi, melainkan sebagai konstruksi kultural dan intelektual yang terus berputar. Tentunya, buku ini mempertontonkan bagaimana islam berperan sebagai agama yang membawa misi spiritual, namun tetap terikat pada dinamika sosial dan politik di zamannya. Pendekatan Endress yang objektif membuka wawasan bahwa Islam sejak awal telah menjadi kekuatan transformatif yang bergerak melalui fase-fase perjuangan, institusionalisasi, dan fragmentasi.
Endress juga menekankan pluralitas dalam Islam (berbagai mazhab, pendekatan teologis, serta peran masyarakat non-Arab). Ini penting agar mahasiswa tidak terjebak dalam esensialisme atau menganggap Islam sebagai monolit. Islam, dalam narasi Endress adalah jaringan makna yang dikonstruksikan dan direproduksi dalam ruang dan waktu yang berbeda. Karena itu, sebagai mahasiswa, kita didorong untuk menggali kembali dimensial sejarah Islam secara kritis, bukan hanya sekedar normatif.
Adapula buku dengan judul "The state in contemporary islamic thought", karya dari Abdelillah Belkeziz yang mengantarkan kita pada perdebatan kontemporer mengenai bagaimana bentuk negara dalam wacana politik. Kemudian ia juga memaparkan bagaimana konsep kekhilafahan itu, negara bangsa serta negara negara islam yang menjadi ruang kontestasi antara otoritas agama dan tuntutan moderenitas. Â Dalam prespektif mahasiswa, buku ini jelas memicu adrenalin kita untuk tidak serta merta menerima istilah "islamic state" atau negara islam tanpa memahami Sejarah ideologis dan praksis yang ada didalamnya.
Belkeziz mengingatkan bahwa banyak proyek politik Islam modern lebih sering terjebak dalam retorika hukum, tetapi miskin refleksi filosofis dan demokratis. Konsep wilyat al-faqh atau negara berbasis syariah sering kali ditampilkan sebagai solusi final, padahal dalam kenyataannya menyisakan banyak persoalan terkait otoritarianisme, monopoli tafsir agama, dan eksklusi terhadap minoritas. Dalam konteks ini, Belkeziz menjadi sangat relevan untuk mahasiswa yang ingin menggali alternatif model negara yang etis, demokratis, dan tetap bersumber dari nilai-nilai Islam.
Sebagai mahasiswa tentu kita tidak bisa serta merta berhenti pada konsumsi gagasan, tugas kita lebih kepada membaca ulang pemikiran klasik kemudian mempertanyakan kembali gagasan dominan dan merumuskan gagasan gagasan baru yang kontekstual dan juga kritis. Gerhard menujukkan pada kita narasi narasi Sejarah yang kaya akan nuansa islam klasik ditambah Belkeziz mengajak kita untuk berfikir dan meninjau Kembali terkait system negara, kekuasaan dan juga syariat.
Islam sebagai agama dan system nilai selalu berada dalam proses yang berkelanjutan, ia ditafsirkan ulang kemudian dipraktikkan ulang hingga dinegosiasikan ulang disetiap ruang lingkup dan lini waktu. Sebagai generasi intelektual, Mahasiswa seyogianya memiliki peranan penting dalam memastikan bahwa proses proses ini tetap transparan, adil dan juga progresif. Dalam mendalami ketiga bacaan tersebut, saya asumsikan bawa berfikir kritis, bertindak secara reflektif, berkontribusi dalam membangun masa depan Islami yang lebih tidak lagi eksklusif melainkan inklusif kita dapat menemukan Kembali esensi keislaman dalam politik maupun pemikiran.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI