PROYEKSI & ATRIBUSI PSIKOLOGIS
Proyeksi dan atribusi merupakan dua konsep dasar dalam psikologi yang menjelaskan bagaimana manusia memahami diri sendiri dan orang lain. Proyeksi adalah mekanisme pertahanan diri yang pertama kali diidentifikasi oleh Sigmund Freud (1856--1939), di mana seseorang secara tidak sadar mengesampingkan pikiran, perasaan, atau sifat negatif yang tidak dapat mereka terima tentang diri mereka sendiri dan memproyeksikannya kepada orang lain. Misalnya, seseorang yang menyimpan kemarahan tetapi tidak mengakuinya mungkin menuduh orang lain sebagai pemarah. Sementara itu, atribusi berkaitan dengan bagaimana kita menjelaskan perilaku---baik perilaku kita sendiri maupun orang lain. Teori atribusi yang dikembangkan oleh Fritz Heider (1896--1988) menjelaskan bahwa manusia cenderung mengatribusikan perilaku pada faktor internal (kepribadian, kemampuan, motivasi) atau faktor eksternal (lingkungan, keberuntungan, situasi). Kita sering mengalami bias atribusi fundamental, di mana kita cenderung menjelaskan perilaku orang lain berdasarkan faktor internal sementara menjelaskan perilaku kita sendiri berdasarkan faktor eksternal. Misalnya, jika seseorang terlambat, kita mungkin menganggap mereka tidak bertanggung jawab (atribusi internal), tetapi jika kita sendiri yang terlambat, kita mungkin menyalahkan kemacetan lalu lintas (atribusi eksternal). Contohnya lagi: orang akan menyebut masalah yang menimpanya sebagai cobaan dari Tuhan, tetapi menyebut masalah yang menimpa orang lain sebagai adzab dari dosa-dosanya.Â
Proyeksi dan atribusi merupakan dua mekanisme psikologis yang saling terkait dalam membentuk persepsi manusia terhadap diri sendiri dan orang lain. Proyeksi, sebagai bentuk pertahanan diri, terjadi ketika seseorang mengalihkan sifat, emosi, atau konflik internal yang tidak disukai kepada orang lain. Misalnya, seseorang yang merasa tidak kompeten di tempat kerja memproyeksikan hal itu kepada rekan kerjanya dengan menganggap mereka "cuek", atau "tidak mau bekerja sama", meskipun sikap mereka sebenarnya biasa-biasa saja. Di sisi lain, atribusi adalah proses kognitif untuk menjelaskan penyebab perilaku orang lain, baik berdasarkan faktor internal (seperti karakter pribadi) maupun eksternal (situasi). Ketika proyeksi mempengaruhi atribusi, maka seseorang akan cenderung membuat penilaian yang bi-as (tidak tepat). Contohnya, proyeksi ketidaknyamanan di tempat kerja tadi dapat memicu atribusi yang keliru, seperti menganggap kritik konstruktif dari rekan kerja sebagai upaya merendahkan dirinya, alih-alih melihatnya sebagai saran dan masukan. Hal ini menciptakan siklus di mana persepsi yang terdistorsi memperkuat prasangka buruk (su'udzhon), memicu konflik, dan menghambat komunikasi dengan orang lain. Dengan kata lain, proyeksi tidak hanya mengaburkan pemahaman diri sendiri, tetapi juga mengganggu kemampuan seseorang untuk menilai orang lain secara adil.Â
Dalam konteks terapi, mengidentifikasi pola proyeksi dan atribusi yang bi-as menjadi langkah penting untuk memutus lingkaran distorsi kognitif ini. Terapis membantu klien mengenali momen ketika mereka "mengalihkan" ketidaknyamanan internal ke orang lain, serta bagaimana hal itu mempengaruhi interpretasi para terapis terhadap perilaku orang tersebut. Misalnya, melalui teknik refleksi diri atau eksplorasi transference dalam psikoanalisis, klien diajak menelusuri akar proyeksi---seperti trauma masa lalu atau norma budaya yang menginternalisasi di dalam dirinya. Selain itu, pendekatan kognitif-behavioral dapat digunakan untuk menguji validitas atribusi, seperti mempertanyakan bukti konkret yang mendukung asumsi klien (misalnya, "Apa benar rekan-mu bermaksud merendahkan-mu, atau mungkin ia hanya sedang terburu-buru?"). Proses ini akan meningkatkan kesadaran diri klien, serta mendorong empati-nya dengan membuka ruang untuk mempertimbangkan perspektif eksternal atau situasional. Hasilnya, klien bisa belajar memisahkan persepsi subjektif dari realitas objektif, mengurangi reaksi defensifnya selama ini, dan membangun hubungan yang lebih baik dengan orang lain. Intinya, agar klien belajar menyadari kesalahannya, karena selama ini ia cenderung menyalahkan orang lain ketika gagal menyelesaikan masalahnya sendiri. (*)Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI