MALAM TERAKHIR DI SINDORO
Langit mulai menggelap ketika tujuh sahabat itu akhirnya tiba di Pos 3 Gunung Sindoro. Angin berhembus dingin, menusuk ke tulang. Kabut mulai menyelimuti tenda-tenda kecil yang berdiri di area camping ground. Farid berdiri memandangi jalur yang baru saja mereka lewati---licin, terjal, dan penuh tantangan. Ia menarik napas dalam, mencoba mengatur napas sekaligus rasa kagum pada alam yang agung.
"Berapa jam lagi ke puncak?" tanya Fajar sambil menjatuhkan carrier-nya ke tanah, napasnya terengah.
"Kalau sesuai rencana, tiga jam. Tapi ini sudah jam enam. Kita harus istirahat dulu," jawab Suhenda sambil membuka jaket tebalnya. Ia menepuk bahu Fajar, menyemangatinya.
Ajrin, si paling pendiam, hanya mengangguk. Zahron dan Alfio sibuk memasang tenda, sementara Gaza---yang paling cerewet dan kreatif di antara mereka---mulai meracik mie instan, menu wajib setiap pendakian. Bau gurih mie kuah di tengah udara dingin segera membuat semua tersenyum kecil, meski tubuh lelah.
Setelah tenda berdiri dan mie habis disantap, Farid memanggil semua untuk duduk melingkar.
"Besok kita summit attack jam dua pagi," ucap Farid dengan suara tegas. "Tapi sebelum itu, aku pengen kita ngobrol sebentar."
Mereka semua saling menatap. Nada bicara Farid terasa lebih serius dari biasanya.
"Aku pengen kita bukan cuma naik gunung buat gaya-gayaan. Tapi buat belajar... belajar arti bertahan, dan peduli."
Ajrin, yang duduk bersila di sebelah Gaza, mengangkat alis. "Maksud lo, Rid?"
"Kita ini beda-beda. Ada yang kuat fisik, ada yang cepat ngeluh. Tapi kita tetap bareng. Kita saling tunggu, saling bantu. Itu pelajaran berharga."