Mereka diam. Hanya bunyi angin dan desir api kompor kecil yang terdengar.
Zahron menunduk. Ia tahu kalimat itu menyentil dirinya. Siangnya tadi ia sempat marah besar pada Gaza karena terlalu lambat dan terus minta istirahat. Bahkan sempat keluar kata-kata kasar.
"Maaf ya Ga, tadi gue emosi," gumam Zahron lirih, nyaris tak terdengar.
Gaza tersenyum, "Gapapa, bro. Namanya juga naik gunung. Kadang yang kuat bukan yang paling cepat, tapi yang paling sabar."
Suhenda mengangguk, "Yang paling keren tuh bukan yang sampai duluan, tapi yang bisa ngajak semua sampai bareng."
Farid berdiri. "Kalau begitu, sebelum tidur, yuk kita salat isya berjamaah. Gunung ini indah, tapi jangan lupa Dia yang menciptakan."
Di tengah udara beku, tujuh anak muda berbaris beralaskan matras, berwudhu dengan air yang hampir membeku. Suara takbir lirih terdengar, menggema tenang di antara pepohonan. Malam itu, langit menjadi saksi salat para pendaki yang ingin mendaki bukan hanya gunung, tapi juga akhlak.
Waktu menunjukkan pukul 02.15 dini hari. Kabut tipis menyelimuti lereng, dan langit bertabur bintang. Angin mulai kencang. Mereka bertujuh bergerak pelan menuju puncak. Lampu-lampu senter menyala, menyorot jalur setapak yang makin sempit.
Suara dzikir lirih terdengar dari Ajrin, menambah syahdu suasana gelap dingin itu. Tak ada yang bicara banyak. Nafas mereka berat, tapi langkah tetap mantap. Namun, baru satu jam berjalan, tragedi kecil terjadi.
Alfio terpeleset di jalur batu berlumut.
"Aduh!" teriaknya.