Mohon tunggu...
Farida Eka Putri
Farida Eka Putri Mohon Tunggu... Psikolog - Cerita dari ruang praktik psikolog klinis.

Clinical Psychologist, Graphologist, and Learners. Menulis saja dulu, suatu saat pasti berguna. Email: faridaekap@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Ikut Konseling Pranikah, Apa Untungnya?

11 Oktober 2020   12:18 Diperbarui: 11 Oktober 2020   18:16 1136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi konseling pranikah | Foto oleh Polina Zimmerman dari Pexels

Satu minggu yang lalu di ruang praktik saya seorang klien bertanya "Mbak, penting atau tidak saya melakukan konseling sebelum menikah dengan pacar saya? Sepertinya saya ingin menikah saja deh mbak tahun ini, saya yakin rezeki dari mana saja, toh saya dan pacar sudah cukup umur, kami berdua sudah dewasa". 

Gambaran profile klien saya ini adalah seorang perempuan berinisial K berusia 22 tahun dengan status baru di PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) karena terkena pengurangan karyawan akibat krisis Covid-19 dan pacarnya seorang laki-laki berusia 27 tahun dengan status sedang mencari pekerjaan.

Sebelum bertanya seperti di atas, K sempat mengeluhkan tentang sifat pasangannya yang tidak ia sukai, yaitu terlalu santai dan pesimis saat lamaran kerjanya ditolak. 

K merasa pacarnya kurang berusaha dalam mencari pekerjaan sehingga membuat orang tua K tidak setuju dengan pacarnya tersebut dan berencana menjodohkan K dengan laki-laki pilihan ibunya yang tentu sudah lebih mapan secara finansial di mata ibunya K.

Setelah mendengar rencana ibunya, K lebih agresif menuntut pacarnya untuk menikahi dirinya karena ia tidak mau dijodohkan oleh orang yang tidak ia cintai. 

K juga menceritakan kondisinya akhir-akhir ini dengan pacarnya menjadi lebih sering bertengkar karena permintaan K yang belum mampu disanggupi oleh pacarnya.

Kondisi karir dan cintanya yang buruk saat ini K merasa stres, menjadi mudah marah, dan beberapa kali menyakiti diri dengan menggoreskan silet ke pergelangan tangannya.

Tentu dengan cerita K yang seperti itu pada saat konseling, saya tidak merekomendasikan K untuk mengikuti konseling pranikah, melainkan mengajak K untuk menjalani sesi konseling individu terlebih dahulu yang bertujuan untuk meregulasi emosinya agar tidak menyakiti diri sendiri ketika emosi. 

Selain itu agar K dapat memengenal dirinya lebih dalam lagi sehingga tidak terburu-buru berpikir atau memutuskan untuk menikah. Itu rekomendasi saran saya sebagai psikolog klinis. Namun sayangnya, saya tidak bisa memutuskan pilihan hidup yang akan diambil oleh K setelah sesi konseling berakhir.

Merujuk pada kasus yang diceritakan oleh K saya yakin berpendapat bahwa penting bagi pasangan baik calon suami maupun calon istri yang mau menikah untuk saling mengenal satu sama lain dengan mengikuti konseling pranikah apabila ada biaya dan memiliki kesempatan. 

Bukan hanya mengenal nama, bukan hanya sekadar merasa aman saja apabila pasangan atau calon suami sudah memiliki penghasilan atau merasa sudah kenal satu sama lain karena menjalin masa pacaran bertahun-tahun bahkan ada yang dari SMP atau sudah kenal dari zaman SD. Bukan mengenal seperti itu yang saya maksud di sini, akan tetapi lebih mengenal pada aspek psikologis pasangan.

Harway (2005) memaparkan bahwa ada hal-hal yang akan lebih baik perlu dipelajari lebih awal oleh pasangan sebelum menikah untuk meminimalisir konflik yang mungkin bisa berujung pada perceraian kalau tidak dikelola dengan solutif, yaitu:

  • Komunikasi dan cara menghadapi masalah: Mengenali dan mempelajari gaya komunikasi yang asertif dan sehat sehingga saat salah satu pasangan dilanda stres maupun emosi negatif, suami dan istri dapat mengekspresikan dengan terkontrol. Tidak berusaha untuk menghindari masalah, marah yang meluap-luap, bahasa yang menyakitkan, ataupun melakukan kekerasan fisik.
  • Memperjelas asumsi: Pasangan suami-istri belajar untuk mengomunikasikan asumsi yang hanya ada di pikiran mereka. Asumsi yang tidak dikemukakan adalah harapan yang tersembunyi yang justru sering membuat kesalahpahaman pada hubungan mereka. Perlu dipahami manusia tidak bisa membaca pikiran semudah itu.
  • Cerita sejarah yang bermakna dan keunikan diri: Apabila dibutuhkan psikolog juga membantu dalam menelusuri lebih jauh sejarah keluarga masing-masing suami maupun istri. Melihat pola perilaku berdasarkan pohon keluarga sampai tiga generasi untuk mencari akar permasalahan yang dialami, sehingga keduanya tidak lagi membawa "luka masa lalu" pada bahtera rumah tangga yang baru. Dengan memahami keunikan diri, suami dan istri menjadi mampu mengambil tanggung jawab atas reaksi mereka sendiri, daripada menyalahkan orang lain.
  • Cara membahagiakan pada aspek sensualitas dan seksualitas: Mempelajari bagaimana suami dan istri dapat saling menikmati kesenangan yang berhubungan dengan sentuhan fisik, seks, dan aktivitas yang mampu membangkitkan romantisme masing-masing.
  • Tanggung jawab dan komitmen: Dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dari konseling pranikah, calon suami dan istri diharapkan dapat bertanggung jawab untuk mengeksplorasi apa yang salah dalam diri mereka masing-masing terlebih dahulu, lalu berkomitmen untuk merubah sikap-sikap yang tidak tepat. Harapannya adalah nanti dapat menuju pada pernikahan yang sukses.

Melihat point-point di atas sepertinya menarik untuk dicoba bukan? Tidak akan merasa rugi dan membuang waktu jika calon pengantin mengikuti konseling pranikah tersebut. 

Saya dan suami sempat mengikuti program konseling pranikah secara gratis yang diadakan oleh KUA Kecamatan Senen, Jakarta-Pusat pada Bulan Februari 2020. Saya pun baru mengetahui adanya program tersebut sebagai salah satu syarat administrasi apabila ingin mendaftar menikah di wilayah DKI Jakarta.

Seperti yang saya baca dalam berita online tempo.co bahwa Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan telah menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 185 Tahun 2017 tentang Konseling dan Pemeriksaan Kesehatan Bagi Calon  Pengantin. Aturan ini menganjurkan masyarakat untuk mengurus sertifikat layak kawin sebelum menikah.

Salah satu program pemerintah yang menurut saya cukup bagus karena narasumber dalam bimbingan konseling tersebut juga dilakukan oleh seorang psikolog klinis (pada waktu itu saya beruntung mendapatkan narasumber demikian). 

Akan tetapi, menurut informasi yang saya dapatkan dari bagian pengurus KUA tidak selamanya narasumbernya psikolog karena sulit mengatur jadwal yang tepat dengan mereka, sehingga narasumber diisi secara bergantian oleh penghulu yang bertugas di KUA setempat.

Selain itu, saya mengamati adanya fenomena menarik saat mengikuti program konseling pranikah yang dilakukan secara kelompok. Pada waktu itu saya dan suami datang bersama karena memang kami merasa konseling ini akan bermanfaat bagi kehidupan kami berdua apalagi gratis, saya tidak ingin melewatkan kesempatan itu.

Namun, masih terlihat peserta yang hadir hanya calon istrinya saja atau calon suaminya saja. Asumsi saya mereka hanya mengikuti kegiatan ini secara formalitas, karena kalau tidak hadir mereka tidak akan mendapat syarat adminitrasi menikah yakni sertifikat layak nikah. Dalam pikiran saya, sayang sekali ada kesempatan namun tidak dimanfaatkan dengan baik. 

Dari fenomena tersebut saya menarik kesimpulan bahwa masih banyak masyarakat yang belum sadar akan pentingnya konseling pranikah ini, melainkan dari kasus praktik sehari-hari yang saya amati banyak pasangan yang datang konsultasi ke psikolog saat pernikahan mereka dirasa ada masalah bahkan berada di ambang perceraian.

Ada lagi yang membuat saya tergelitik yaitu pertanyaan dari salah satu peserta yang datang tanpa calon suaminya, peserta adalah seorang wanita berusia 24 tahun bertanya "Bu, kenapa sih calon suami saya enggak pernah terlihat cemburu? Padahal teman laki-laki saya banyak. 

Apakah dia enggak cinta banget sama saya? Kok dia cuek yah, saya suka kesel....". Pertanyaan tersebut membuat saya tergelitik dimana menurut saya pertanyaan-pertanyaannya itu idealnya sudah mendapatkan jawabannya dan bahkan dicari solusinya. Tentu bersama pasangan sebelum dia mendaftarkan diri untuk menikah.

Membuat saya semakin berpikir, penting sekali kegiatan konseling pranikah diikuti oleh pasangan calon suami-istri. Mungkin di antara pembaca masih ada yang berpikir bahwa yang penting menikah siap dari segi usia dan sang calon suami sudah memiliki pendapatan. Lagi-lagi siap pada aspek tersebut saja belum cukup tanpa persiapan yang matang dari sisi psikologis.

Melihat pengalaman peserta yang datang tanpa pasangan padahal program konseling pranikah dari pemerintah gratis, dibenak saya jadi muncul banyak pertanyaan mengapa pasangan menghindari konseling pranikah? Apakah mereka sangat sibuk dengan pekerjannya? Mengapa tidak memprioritaskan program ini yang ilmunya dapat bermanfaat seumur hidup rumah tangga mereka?.

Mengutip dari artikel Psychology Today, Meyers (2011) seorang clinical psychologist dan juga pakar dalam bidang konselor pernikahan berpendapat bahwa hal ini berkaitan dengan rasa takut.

Pada dasarnya banyak pria dan wanita takut bahwa berbicara secara terbuka tentang masalah yang dialami dengan konselor akan menyebabkan lebih banyak mendatangkan perdebatan dan akhirnya hubungan menjadi kandas apabila pasangannya mengetahui di awal sebelum menikah.

Namun, saya sendiri sebagai psikolog klinis dan juga peserta konseling pranikah dapat mengatakan bahwa pemikiran tersebut keliru!. Bagi sebagian orang awalnya mungkin menakutkan dan merasa aneh untuk melampiaskan amarah, frustrasi, dan kebencian Anda yang terpendam. 

Akan tetapi, pelepasan emosi-emosi negatif ini apabila dilakukan dalam konteks yang terstruktur dan bimbingan dari konselor yang memang ahli di bidangnya, justru dapat membuat Anda dan pasangan mampu melewati serta merasa lega.

Semakin memahami pasangan dan berusaha mengelola permasalahan bersama. Anda dan pasangan semakin merasa jatuh cinta berkali-kali dengan orang yang sama. Anda yakin bahwa kalian mampu menjadi tim terhebat, saling support untuk menghadapi tantangan-tantangan hidup berikutnya.

Jangan ragu mengikuti konseling pranikah ya lovebirds, semoga langgeng!.

Daftar Referensi:

  • Harway, M. (2005). Handbook of Couples Therapy, John Wiley & Sons, Inc., Hoboken, New Jersey.
  • Nasional Tempo (diunduh pada tanggal 7 Oktober 2020)
  • Psychology Today (diunduh pada tanggal 7 Oktober 2020)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun