Mohon tunggu...
Farida Eka Putri
Farida Eka Putri Mohon Tunggu... Psikolog - Cerita dari ruang praktik psikolog klinis.

Clinical Psychologist, Graphologist, and Learners. Menulis saja dulu, suatu saat pasti berguna. Email: faridaekap@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Ikut Konseling Pranikah, Apa Untungnya?

11 Oktober 2020   12:18 Diperbarui: 11 Oktober 2020   18:16 1136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi konseling pranikah | Foto oleh Polina Zimmerman dari Pexels

Harway (2005) memaparkan bahwa ada hal-hal yang akan lebih baik perlu dipelajari lebih awal oleh pasangan sebelum menikah untuk meminimalisir konflik yang mungkin bisa berujung pada perceraian kalau tidak dikelola dengan solutif, yaitu:

  • Komunikasi dan cara menghadapi masalah: Mengenali dan mempelajari gaya komunikasi yang asertif dan sehat sehingga saat salah satu pasangan dilanda stres maupun emosi negatif, suami dan istri dapat mengekspresikan dengan terkontrol. Tidak berusaha untuk menghindari masalah, marah yang meluap-luap, bahasa yang menyakitkan, ataupun melakukan kekerasan fisik.
  • Memperjelas asumsi: Pasangan suami-istri belajar untuk mengomunikasikan asumsi yang hanya ada di pikiran mereka. Asumsi yang tidak dikemukakan adalah harapan yang tersembunyi yang justru sering membuat kesalahpahaman pada hubungan mereka. Perlu dipahami manusia tidak bisa membaca pikiran semudah itu.
  • Cerita sejarah yang bermakna dan keunikan diri: Apabila dibutuhkan psikolog juga membantu dalam menelusuri lebih jauh sejarah keluarga masing-masing suami maupun istri. Melihat pola perilaku berdasarkan pohon keluarga sampai tiga generasi untuk mencari akar permasalahan yang dialami, sehingga keduanya tidak lagi membawa "luka masa lalu" pada bahtera rumah tangga yang baru. Dengan memahami keunikan diri, suami dan istri menjadi mampu mengambil tanggung jawab atas reaksi mereka sendiri, daripada menyalahkan orang lain.
  • Cara membahagiakan pada aspek sensualitas dan seksualitas: Mempelajari bagaimana suami dan istri dapat saling menikmati kesenangan yang berhubungan dengan sentuhan fisik, seks, dan aktivitas yang mampu membangkitkan romantisme masing-masing.
  • Tanggung jawab dan komitmen: Dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dari konseling pranikah, calon suami dan istri diharapkan dapat bertanggung jawab untuk mengeksplorasi apa yang salah dalam diri mereka masing-masing terlebih dahulu, lalu berkomitmen untuk merubah sikap-sikap yang tidak tepat. Harapannya adalah nanti dapat menuju pada pernikahan yang sukses.

Melihat point-point di atas sepertinya menarik untuk dicoba bukan? Tidak akan merasa rugi dan membuang waktu jika calon pengantin mengikuti konseling pranikah tersebut. 

Saya dan suami sempat mengikuti program konseling pranikah secara gratis yang diadakan oleh KUA Kecamatan Senen, Jakarta-Pusat pada Bulan Februari 2020. Saya pun baru mengetahui adanya program tersebut sebagai salah satu syarat administrasi apabila ingin mendaftar menikah di wilayah DKI Jakarta.

Seperti yang saya baca dalam berita online tempo.co bahwa Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan telah menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 185 Tahun 2017 tentang Konseling dan Pemeriksaan Kesehatan Bagi Calon  Pengantin. Aturan ini menganjurkan masyarakat untuk mengurus sertifikat layak kawin sebelum menikah.

Salah satu program pemerintah yang menurut saya cukup bagus karena narasumber dalam bimbingan konseling tersebut juga dilakukan oleh seorang psikolog klinis (pada waktu itu saya beruntung mendapatkan narasumber demikian). 

Akan tetapi, menurut informasi yang saya dapatkan dari bagian pengurus KUA tidak selamanya narasumbernya psikolog karena sulit mengatur jadwal yang tepat dengan mereka, sehingga narasumber diisi secara bergantian oleh penghulu yang bertugas di KUA setempat.

Selain itu, saya mengamati adanya fenomena menarik saat mengikuti program konseling pranikah yang dilakukan secara kelompok. Pada waktu itu saya dan suami datang bersama karena memang kami merasa konseling ini akan bermanfaat bagi kehidupan kami berdua apalagi gratis, saya tidak ingin melewatkan kesempatan itu.

Namun, masih terlihat peserta yang hadir hanya calon istrinya saja atau calon suaminya saja. Asumsi saya mereka hanya mengikuti kegiatan ini secara formalitas, karena kalau tidak hadir mereka tidak akan mendapat syarat adminitrasi menikah yakni sertifikat layak nikah. Dalam pikiran saya, sayang sekali ada kesempatan namun tidak dimanfaatkan dengan baik. 

Dari fenomena tersebut saya menarik kesimpulan bahwa masih banyak masyarakat yang belum sadar akan pentingnya konseling pranikah ini, melainkan dari kasus praktik sehari-hari yang saya amati banyak pasangan yang datang konsultasi ke psikolog saat pernikahan mereka dirasa ada masalah bahkan berada di ambang perceraian.

Ada lagi yang membuat saya tergelitik yaitu pertanyaan dari salah satu peserta yang datang tanpa calon suaminya, peserta adalah seorang wanita berusia 24 tahun bertanya "Bu, kenapa sih calon suami saya enggak pernah terlihat cemburu? Padahal teman laki-laki saya banyak. 

Apakah dia enggak cinta banget sama saya? Kok dia cuek yah, saya suka kesel....". Pertanyaan tersebut membuat saya tergelitik dimana menurut saya pertanyaan-pertanyaannya itu idealnya sudah mendapatkan jawabannya dan bahkan dicari solusinya. Tentu bersama pasangan sebelum dia mendaftarkan diri untuk menikah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun