Mohon tunggu...
Money

Ramalan Perekonomian Indonesia 2019 dengan Indikasi Impor Beras

30 Desember 2018   12:34 Diperbarui: 30 Desember 2018   12:37 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Tanda optimisme muncul dalam bentuk semester II tahun 2017 sudah menggambarkan pick up growth Indonesia muncul dari agregat demand dan supply. Kita lihat ekspor tumbuh positif, dan itu suatu perubahan."

Pada pertengahan tahun 2017 tergambar kenaikan pengeluaran yang akan dilakukan pada sektor ekonomi dari berbagai tingkatan harga dan menggambarkan hubungan-hubungan di pasar, antara para calon pembeli dan penjual dari suatu barang. Ditambah dengan naiknya ekspor yang menjadi perubahan yang sangat menonjol.

Namun sayangnya, dengan berbagai dinamika ekonomi yang muncul,ternyata pertumbuhan impor jauh lebih cepat dibandingkan dengan ekspor, ini dikarenakan naiknya harga minyak mentah dan berlanjutnya investasi peralatan menyebabkan nilai nominal impor tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan ekspor.

 Naiknya ekspor Indonesia sebesar 4 hingga 5 persen tak sebanding dengan impor yang meningkat hingga 20 persen per tahun. Sehingga, posisi defisit transaksi berjalan Indonesia pada semester II 2018 ini mencapai 13,7 miliar dollar AS. Arus modal masuk tahun ini pun tak sebesar tahun 2016 dan 2017 lalu. Namun, dengan kebijakan makro yang semakin kredibel, yaitu dari inflasi yang terjaga pada 3,5 persen dan stabil selama 4 tahun, merupakan salah satu indikator optimisme perekonomian Indonesia tahun depan.

"Tahun depan konsumsi tetap tumbuh 5,1 persen, dan investasi tumbuh di 7 persen, ekspor 6,3 persen, dan impor bisa dijaga di 7,1 persen."

Pada tahun mendatang impor akan tetap dijaga 7,1 persen meskipun tiap tahunnya meningkat 20 persen, dan untuk konsumsi yang akan tetap tumbuh tiap tahunnya dikarenakan jumlah SDM diIndonesia juga menggalami kenaikan. Dan sektor pertanian juga akan tetap tumbuh sehat di atas 3 persen mendekati 4 persen.

Namun faktanya faktor pertanian untuk saat ini mengalami kenaikan harga eceran tertinggi pupuk kimia bersubsidi menambah biaya produksi yang harus ditanggung petani. Hal tersebut pukulan kedua setelah harga pascapanen jauh dari harapan karena padi rusak.

Akan tetapi Direktur Perusahan Umum Badan Urusan Logistik Budi Waseso menegaskan, hingga Juni 2019 Indonesia tidak perlu mengimpor beras lantaran ketersediaan beras di Bulog masih mencukupi. "Dari hitungan yang ada, sampai Juni 2019 tidak perlu impor beras," kata Budi Waeso.

Hingga saat ini, cadangan beras Perum Bulog sebanyak 2,4 juta ton. Nantinya, pada Oktober akan ada lagi tambahan beras sebanyak 400 ribu ton beras impor dari pengadaan impor sebelumnya. Sedangkan, hingga akhir tahun diperkirakan beras Bulog mencapai 2,7 juta ton karena 100 ribu ton beras dialokasikan untuk rastra. "Hari ini, kami sudah 2,7 juta ton. Belum lagi nanti tambah terus, jadi cukup," imbuh Mantan Kepala Badan Narkotika Nasional itu.

Dan untuk cuaca yang tidak menentu besar kemungkinan banyak terjadinya padi yang rusak dan menurunnya kualitas serta pemasokan padi akan menurun. Alangkah baiknya pemerintah mengganti atau memberi solusi kepada masyarakat untuk tidak bergantung pada padi karena masih banyak karbohidrat lainnya yang juga baik untuk dikonsumsi, seperti halnya kentang dan umbi-umbian lainnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun