Mohon tunggu...
Muhammad FarhanIndra
Muhammad FarhanIndra Mohon Tunggu... Mahasiswa Magister Psikologi Pendidikan, Universitas Indonesia | Sedang meneliti topik motivasi belajar, resiliensi akademik, dan pendidikan remaja.

Sedang belajar dan melakukan proyek penelitian di bidang pendidikan dan psikologi remaja. Suka menulis tentang motivasi belajar, isu pendidikan, dan pengalaman di dunia akademik. Tertarik menghubungkan teori yang dipelajari di kelas dengan fenomena nyata di sekolah dan kehidupan generasi muda.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Hadiah Bisa Mematikan Motivasi? Ini Kata Peneliti

11 Agustus 2025   07:40 Diperbarui: 11 Agustus 2025   08:08 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aldi baru saja pulang sekolah. Begitu ibunya berkata, "Kalau kamu belajar satu jam, nanti Mama belikan es krim", ia langsung duduk manis di meja belajar. Buku dibuka, pensil siap di tangan. Satu jam kemudian, es krimnya habis, begitu juga semangatnya. Buku pun kembali tertutup, seolah misinya sudah selesai.

Fenomena seperti ini bukan cuma terjadi di rumah Aldi. Banyak orang tua dan guru mengandalkan hadiah, mulai dari es krim, stiker bintang, uang jajan tambahan, hingga piala, untuk meningkatkan motivasi anak. Dan memang, di awal, cara ini terlihat manjur. Anak langsung bergerak, semangat belajar, atau mau mengerjakan PR. Tapi, apakah motivasi itu akan bertahan setelah hadiahnya hilang?

Di kelas, situasinya mirip. Siswa yang biasanya malas mengerjakan tugas tiba-tiba rajin ketika ada lomba atau ujian. Begitu penilaian selesai, semangatnya ikut menguap. Pertanyaannya: apakah hadiah benar-benar membuat anak belajar dengan sepenuh hati, atau sekadar "meminjam" semangat mereka untuk sementara?

Pertanyaan ini sudah lama menjadi bahan penelitian. Edward Deci (1971), misalnya, melakukan eksperimen dengan mahasiswa yang diminta menyusun teka-teki yang sebenarnya mereka sukai. Sebagian diberi uang, sebagian tidak. Hasilnya mengejutkan: kelompok yang diberi uang justru kehilangan minat ketika hadiah dihentikan, sementara kelompok tanpa hadiah tetap antusias.

Lepper, Greene, dan Nisbett (1973) menemukan pola serupa pada anak-anak yang gemar menggambar. Awalnya, mereka menggambar dengan gembira. Namun setelah dibiasakan menerima hadiah, minat menggambar menurun begitu hadiah tidak lagi ada. Seolah kesenangan alami mereka "dikalahkan" oleh imbalan.

Namun, tidak semua hadiah berakhir buruk. Penelitian Judith Harackiewicz (1979) dan Harackiewicz, Abrahams, & Wageman (1987) menunjukkan bahwa hadiah bisa berdampak positif jika berfungsi sebagai pengakuan atas kompetensi, misalnya, untuk menandai keberhasilan atau kemajuan, bukan untuk mengendalikan perilaku. Dengan kata lain, hadiah yang "menghargai" akan berbeda efeknya dari hadiah yang "mengontrol."

Kenapa Hadiah Bisa Mematikan Motivasi?

Bayangkan anak yang awalnya suka membaca cerita detektif. Ia bisa menghabiskan waktu berjam-jam membolak-balik halaman karena penasaran dengan akhir ceritanya. Lalu, orang tuanya mulai berkata, "Kalau selesai baca satu buku, Mama kasih uang jajan tambahan." Awalnya memang semangatnya meningkat, tapi lama-lama, yang dia pikirkan bukan lagi cerita detektifnya, melainkan uang jajannya. Inilah yang disebut overjustification effect, ketika motivasi alami tergeser oleh motivasi karena hadiah (Deci, 1971; Lepper et al., 1973).

Selain itu, hadiah juga bisa menjadi alat kontrol yang justru mengurangi rasa otonomi anak. Deci & Ryan (1985) dalam Cognitive Evaluation Theory menjelaskan bahwa jika hadiah diberikan dengan nada mengatur, misalnya, "Kalau nilaimu di bawah 90, nggak ada main game", anak akan merasa dipaksa atau dikendalikan. Efeknya? Mereka mungkin memang melakukan tugasnya, tapi bukan karena mau, melainkan karena takut kehilangan hadiah atau takut hukuman.

Fenomena ini juga nyata di Indonesia. Banyak siswa baru rajin belajar ketika mendekati ujian atau olimpiade, karena ada hadiah, piala, atau pengakuan. Les tambahan pun biasanya penuh menjelang Ujian Nasional atau ujian masuk sekolah favorit, tapi kembali sepi setelah acara selesai. Semangat belajar yang terbentuk bukan karena rasa ingin tahu, melainkan karena kejar target dan imbalan sesaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun