Wakaf Alat Laboratorium: Gerakan Baru Menuju Revolusi Sains di Pesantren
"Pesantren tidak boleh hanya melahirkan santri yang fasih membaca kitab, tapi juga yang tangguh membaca realitas."
--- Dr Awaluddin Faj, M.Pd
Ketika Sains Masih Jauh dari Pesantren
Selama puluhan tahun, pesantren dikenal sebagai pusat pendidikan moral dan spiritual bangsa.
Dari pesantrenlah lahir tokoh-tokoh pembaharu yang memadukan nilai agama dan kebangsaan.
Namun, di tengah derasnya arus revolusi industri dan kemajuan teknologi, masih banyak pesantren yang tertinggal dalam bidang sains dan eksperimentasi.
Data Kementerian Agama (2023) mencatat, Indonesia memiliki lebih dari 36.000 pesantren dengan lebih dari 5 juta santri aktif.
Tetapi hasil kajian Balitbang Kemenag bersama BRIN (2022) mengungkap fakta menarik:
hanya sekitar 8% pesantren yang memiliki laboratorium sains dengan peralatan memadai.
Artinya, sebagian besar santri belajar fisika, kimia, atau biologi hanya lewat teori di papan tulis tanpa pernah melihat langsung bagaimana hukum-hukum alam bekerja.
Mikroskop, tabung reaksi, hingga alat ukur sering kali hanya menjadi gambar di buku teks, bukan pengalaman nyata di ruang praktik.
Kondisi ini memperlihatkan kesenjangan yang nyata antara idealisme pendidikan Islam yang menyeluruh dengan sarana pendidikan yang tersedia di lapangan.
Ilmu sebagai Amanah, Bukan Sekadar Pengetahuan
Dalam pandangan Islam, ilmu bukan sekadar sarana mencari pekerjaan, tetapi amanah untuk memakmurkan bumi.
Al-Qur'an berulang kali mengajak manusia untuk tafakkur dan tadabbur atas ciptaan Allah.
Artinya, setiap fenomena ilmiah sejatinya merupakan ayat-ayat kauniyah yang dapat menguatkan keimanan.
Namun, ketika ruang laboratorium masih menjadi kemewahan bagi banyak pesantren, kesempatan santri untuk menyelami kebesaran ciptaan Allah melalui eksperimen menjadi terbatas.
Hal inilah yang kemudian menggugah sejumlah pegiat sosial untuk mencari cara menghadirkan fasilitas sains yang layak di lembaga-lembaga pendidikan Islam.
Bukan untuk menjadikan pesantren sekuler, melainkan agar iman dan eksperimen berjalan beriringan.
Munculnya Gerakan Baru: Ayo Peduli Sesama
Dari kegelisahan itu lahirlah gagasan yang berani: Gerakan Wakaf Alat Laboratorium, digagas oleh komunitas sosial Ayo Peduli Sesama (APS).
APS sebelumnya dikenal lewat berbagai kegiatan sosial dan pendidikan berbasis kepedulian masyarakat.
Kini, gerakan ini mencoba memperluas makna wakaf produktif dari yang semula berfokus pada tanah dan bangunan, menjadi wakaf alat ilmu.
Menurut Farhan Hidayat, Direktur APS, konsep ini lahir dari kesadaran bahwa alat peraga pendidikan adalah jembatan antara teori dan pemahaman nyata.
Ketika santri memegang mikroskop dan mengamati struktur daun, di sanalah terjadi proses pembelajaran yang bukan hanya kognitif, tetapi juga spiritual.
APS merancang inisiatif ini bukan sebagai proyek jangka pendek, tetapi sebagai gerakan kultural:
mengubah cara pandang umat tentang arti berwakaf.
Mengapa Wakaf, Bukan Sekadar Donasi?
Dalam tradisi Islam, wakaf adalah bentuk sedekah jariyah yang manfaatnya berkelanjutan lintas generasi.
Namun, data Badan Wakaf Indonesia (2024) menunjukkan bahwa lebih dari 70% aset wakaf di Indonesia masih berupa tanah dan bangunan, sedangkan bentuk wakaf produktif modern seperti alat pendidikan masih sangat kecil.
Padahal, jika potensi wakaf nasional yang mencapai Rp180 triliun per tahun itu diarahkan sebagian untuk pengembangan ilmu pengetahuan, dampaknya bisa luar biasa.
Bukan hanya bagi pesantren, tetapi juga bagi kemajuan bangsa.
Gerakan APS mencoba menghidupkan kembali esensi wakaf sebagai instrumen peradaban.
Bahwa wakaf tidak harus bersifat monumental, melainkan fungsional.
Satu mikroskop sederhana bisa menjadi ladang ilmu bagi ratusan santri yang haus pengetahuan.
Pesantren dan Tantangan Literasi Sains
Pesantren memiliki kekuatan dalam mendidik karakter, namun banyak yang menghadapi keterbatasan dalam aspek literasi sains dan teknologi.
Menurut Survei Indeks Literasi Sains Nasional (BRIN, 2022), skor rata-rata pelajar Indonesia masih berada di angka 38 dari 100, di bawah rata-rata Asia Tenggara.
Sementara di pesantren, penguatan literasi sains sering terhambat oleh ketersediaan alat dan tenaga pengajar sains yang terbatas.
Dalam konteks inilah, gerakan seperti wakaf alat laboratorium menemukan relevansinya.
Bukan hanya membantu pesantren menyediakan alat, tetapi juga menumbuhkan ekosistem pendidikan yang menghargai eksperimen, observasi, dan berpikir kritis.
Dari Mikroskop ke Makna
Setiap alat laboratorium sebenarnya membawa pesan moral.
Mikroskop, misalnya, mengajarkan ketelitian dan rasa ingin tahu.
Termometer mengajarkan ketepatan.
Tabung reaksi mengajarkan kesabaran dalam proses.
Bila alat-alat ini hadir di pesantren, maka santri bukan hanya mempelajari sains, tetapi juga menumbuhkan karakter ilmuwan yang beretika.
Seperti dikatakan Prof. Amin Abdullah (UIN Sunan Kalijaga), integrasi antara ilmu agama dan sains modern bukan sekadar teori, melainkan keniscayaan bagi umat Islam agar tidak kehilangan relevansi dalam dunia global.
Gerakan wakaf alat laboratorium menjadi salah satu langkah konkret menuju integrasi itu.
Pendidikan Islam dan Revolusi Industri 5.0
Kita sedang hidup di era di mana kecerdasan buatan, robotika, dan bioteknologi menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Di sisi lain, banyak santri yang bahkan belum pernah memegang pipet atau mengukur larutan asam-basa.
Ketimpangan ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan kurikulum baru, tetapi juga dengan infrastruktur ilmu yang memadai.
Gerakan seperti wakaf alat laboratorium dapat menjadi jembatan antara idealisme dan realitas.
Pesantren perlu berani beradaptasi tanpa kehilangan ruhnya.
Karena sejatinya, Islam sendiri menempatkan ilmu sebagai jalan menuju kemuliaan.
Dalam sejarah Islam klasik, ilmuwan seperti Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, dan Al-Biruni adalah contoh bahwa sains dan iman dapat bersinergi.
Kini, tugas generasi kita adalah menghidupkan kembali tradisi itu melalui langkah-langkah kecil namun berdampak.
Gerakan yang Tumbuh dari Kesadaran
Menariknya, APS tidak memosisikan diri sebagai lembaga filantropi besar.
Mereka memulai dengan membangun jejaring kecil: guru, santri, dosen muda, dan relawan pendidikan.
Setiap langkah dikembangkan berbasis riset kebutuhan lapangan.
Pendekatan ini menunjukkan bahwa perubahan tidak harus menunggu dana besar, tetapi dimulai dari kesadaran bersama bahwa ilmu harus difasilitasi.
Seperti dikatakan Farhan Hidayat,
"Wakaf alat laboratorium bukan tentang besarnya barang yang diberikan, tapi tentang nyala pengetahuan yang ditimbulkan."
Harapan Dari Ruang Eksperimen ke Ruang Peradaban
Ketika santri melihat mikroorganisme pertama kali di bawah mikroskop, ia tidak hanya belajar biologi.
Ia sedang belajar tentang kebesaran Sang Pencipta.
Ketika ia menghitung gaya gravitasi, ia belajar bahwa setiap hukum alam tunduk pada kehendak-Nya.
Inilah yang disebut integrasi ilmu: di mana sains tidak memisahkan iman, dan iman tidak menutup diri dari sains.
Gerakan wakaf alat laboratorium adalah simbol kecil dari mimpi besar:
membangun generasi santri yang berilmu, beriman, dan berdaya saing.
Cahaya Baru dari Pesantren
Pendidikan Islam di Indonesia telah terbukti mampu melahirkan tokoh bangsa dan ulama berpengaruh.
Kini saatnya pesantren juga menjadi pusat kebangkitan sains yang berakar pada nilai-nilai ketauhidan.
Gerakan wakaf alat laboratorium yang diinisiasi Ayo Peduli Sesama menjadi langkah awal menuju cita-cita itu.
Bukan sekadar tentang alat, tetapi tentang transformasi cara berpikir:
dari menerima ilmu menjadi meneliti, dari mendengar menjadi mengamati, dari membaca teks menjadi membaca semesta.
Sebagaimana laboratorium bukan sekadar ruang kaca, pesantren pun bukan sekadar ruang doa.
Keduanya adalah tempat suci bagi pencarian kebenaran.
Dan di antara keduanya, kita mungkin menemukan masa depan pendidikan Islam yang lebih terang.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI