Kita sedang hidup di era di mana kecerdasan buatan, robotika, dan bioteknologi menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Di sisi lain, banyak santri yang bahkan belum pernah memegang pipet atau mengukur larutan asam-basa.
Ketimpangan ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan kurikulum baru, tetapi juga dengan infrastruktur ilmu yang memadai.
Gerakan seperti wakaf alat laboratorium dapat menjadi jembatan antara idealisme dan realitas.
Pesantren perlu berani beradaptasi tanpa kehilangan ruhnya.
Karena sejatinya, Islam sendiri menempatkan ilmu sebagai jalan menuju kemuliaan.
Dalam sejarah Islam klasik, ilmuwan seperti Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, dan Al-Biruni adalah contoh bahwa sains dan iman dapat bersinergi.
Kini, tugas generasi kita adalah menghidupkan kembali tradisi itu melalui langkah-langkah kecil namun berdampak.
Gerakan yang Tumbuh dari Kesadaran
Menariknya, APS tidak memosisikan diri sebagai lembaga filantropi besar.
Mereka memulai dengan membangun jejaring kecil: guru, santri, dosen muda, dan relawan pendidikan.
Setiap langkah dikembangkan berbasis riset kebutuhan lapangan.
Pendekatan ini menunjukkan bahwa perubahan tidak harus menunggu dana besar, tetapi dimulai dari kesadaran bersama bahwa ilmu harus difasilitasi.
Seperti dikatakan Farhan Hidayat,
"Wakaf alat laboratorium bukan tentang besarnya barang yang diberikan, tapi tentang nyala pengetahuan yang ditimbulkan."
Harapan Dari Ruang Eksperimen ke Ruang Peradaban
Ketika santri melihat mikroorganisme pertama kali di bawah mikroskop, ia tidak hanya belajar biologi.
Ia sedang belajar tentang kebesaran Sang Pencipta.
Ketika ia menghitung gaya gravitasi, ia belajar bahwa setiap hukum alam tunduk pada kehendak-Nya.
Inilah yang disebut integrasi ilmu: di mana sains tidak memisahkan iman, dan iman tidak menutup diri dari sains.
Gerakan wakaf alat laboratorium adalah simbol kecil dari mimpi besar:
membangun generasi santri yang berilmu, beriman, dan berdaya saing.