Mohon tunggu...
Farhan Fauzy
Farhan Fauzy Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Unsoed

Jurusan Hubungan Internasional

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Diplomasi Era Soekarno dan Perjuangan Diplomasi Pengakuan Kemerdekaan Indonesia

17 Oktober 2021   23:50 Diperbarui: 18 Oktober 2021   00:08 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Diplomasi Era Soekarno dan Perjuangan Diplomasi Pengakuan Kemerdekaan Indonesia

Setelah Ir.Soekarno bersama Moh.Hatta telah membawa bangsa Indonesia kepada era baru dimulai dengan memprolamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. 

Sebagai sebuah negara yang baru merdeka dari penjajahan, tentunya dibutuhkan pengakuan dari negara lain dan dunia internasional bahwa Indonesia telah siap untuk berdiri sebagai sebuah negara dan juga untuk menjadi sebuah anggota dari sistem internasional. 

Namun, Belanda tetap ingin menjajah Indonesia kembali dan melakukan berbagai cara untuk mengahalangi kemerdekaan yang ingin dicapai oleh Indonesia pada panggung Internasional. 

Pada saat itu, Indonesia dihadapkan dengan situasi yang dilematis, dimana golongan kiri menginginkan Indonesia bergabung dengan komunis yang anti-barat dengan tujuan untuk memperkuat perlawanan terhadap Belanda yang merupakan anggota blok barat. Namun pemimpin nasionalis seperti Moh.Hatta dan Sutan Sjahrir tidak ingin Indonesia dikuasai oleh komunis. 

Oleh karena itu, Indonesia kemudian mengambil jalan tengah yaitu dengan bersikap netral  dan tidak memihak blok manapun. Hal ini dikarenakan Indonesia berusaha untuk tetap konsisten dengan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab, prinsip yang menjunjung tinggi kemerdekaan sebagai hak setiap bangsa dan juga prinsip yang menekankan eksistensi kedamaian secara aktif seperti yang tertera dalam Undang-Undang Dasar 1945 Alinea ke-empat yang berbunyi "ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarakan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial".

Dua hari setelah kemerdekaan, Republik Indonesia berhasil membentuk susunan kabinet pertamanya yang meliputi 19 menteri, dan salah satunya adalah Menteri Luar Negeri yang dijabat oleh Ahmad Soebardjo. Namun sayangnya, kabinet ini tidak bertahan lama, dibentuk pada 2 September 1945 kemudian terjadi perubahan pada 14 November 1945 yang kemudian mengangkat Sutan Sjahrir sebagai Menteri Luar Negeri Republik Indonesia yang kedua. 

Perubahan ini juga mempengaruhi sistem pemerintahan dari presidensial menjadi bentuk ministerial. Sejak saat itulah, Indonesia mulai menerapkan kebijakan-kebijakan diplomasi untuk melakukan perundingan dengan Belanda.

Pada 17 November 1945, dilakukan perundingan pada pertama kalinya. Perundingan ini dilaksanakan di markas besar tantara sekutu di Jakarta. Perundingan ini kemudian berlanjut dengan pengiriman misi diplomatik pertama Republik Indonesia ke Belanda di sebuah tempat bernama Hoge Veluwe. Misi diplomatik inilah yang menjadi awal mula panjangnya proses panjang dalam perundingan Indonesia-Belanda.

Dalam laman Kementerian Luar Negeri tercatat bahwa setidaknya ada tiga perundingan penting dalam periode awal tugas diplomasi mempertahankan kemerdekaan, yaitu perundingan Linggar Jati pada tahun 1946-1947 yang membahas tentang kedaulatan RI berupa wilayah Jawa, Madura dan Sumatera, kemudian Perundiingan Renville pada 1947-1948 yang menyepakati adanya gencatan senjata dan perluasan wilayah Belanda, dan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949 yang merundingkant tentang pengakuan kedaulatan Republik Indonesia.

Perundingan Linggar Jati berlangsung sebanyak 11 kali yang dimulai dari 22 Oktober sampai 16 November 1946. Perundingan Linggarjati ini menghasilkan "Persetujuan Linggarjati" yang isinya adalah kesepakatan terhadap kedaulatan Republik Indonesia. 

Hasil dari perundingan ini menjadi salah satu momentum penting pengakuan negara lain atas kemerdekaan Republik Indonesia, dan berhasil mendapatkan pengakuan secara de facto atas wilayah Jawa, Madura dan Sumatera, namun Pemerintah Belanda juga memberikan syarat berupa bentuk negara Indonesia Bernama Negara Indonesia Serikat (NIS) dan pembentukan perserikatan Indonesia-Belanda yang Bernama Ui Indonesia-Belanda. 

Wilayah dari NIS ini telah disepakati yaitu meliputi wilayah bekas Hindia-Belanda. Namun perundingan ini dianggap gagal karena adanya penyerangan yang dilakukan oleh Belanda kepada Indonesia pada 21 Juli 1947 yang dikenal sebagai Agresi Militer I.

Agresi militer tersebut memaksa Indonesia untuk meminta bantuan Internasional. Kemudian Dewan Keamanan PBB menjadi mediator dengan membentuk Komisi Tiga Negara (KTN). Perjanjian Renville kemudian dilakukan diatas kapal Renville yang berlabuh di Jakarta. 

Kesepakatan yang dihasilkan dalam Perundingan Renville adalah Belanda yang hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta dan Sumatera sebagai wilayah RI, dan adanya kesepakatan Indonesia dan Belanda mengenai sebuah garis yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda. Setelah terjadinya perundingan Renville ini, terjadi kekacauan internasl di Indonesia yang disebabkan banyaknya penolakan terhadap perundingan Renville, khususnya dari pihak militer.

Konferensi Meja Bundar resmi dilakukan pada 23 Agustus 1949. Perundingan ini berjalan lambat dan memakan banyak waktu. Salah satu problem yang hampir menggagalkan KMB ini adalah persoalan Irian Barat. Dalam kebuntuan tersebut, Hatta menawarkan solusi yaitu dalam satu hingga dua tahun berikutnya, Irian Barat berada dalam pangkuan Belanda, namun kemudian pihak yang bersangkutan dapat merundingkannya kembali. 

Usulan Hatta ini dapat disepakati dan menutup KMB pada 2 November 1949. Hasil dari KMB ini antara lain adalah  Belanda menyerahkan kedaulatan penuh kepada Republik Indonesia Serikat pada Desember 1949 yang kemudian akan diadakan hubungan Uni Indonesia-Belanda; Indonesia juga akan mengembalikan semua milik Belanda dan membayar hutang Hindia-Belanda sebelum 1949 dan perundingan masalah Irian Barat akan dilakukan setelah satu tahun dari pengakuan RIS

Perjuangan diplomasi Indonesia akhirnya meraih dukungan masyarakat internasional dalam Perserikata Bangsa-Bangsa atau PBB pada tanggal 17 Agustus 1950 pada saat Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam langkah pemulihan sebagai negara kesatuannya ini, Indonesia kemudian menjadi anggota ke-60 dalam PBB pada September 1950.

References: 

Haryanto, A., & Pasha, I. (2016). Diplomasi Indonesia: Realitas dan Prospek. Yogyakarta: Pustaka Ilmu.

Nugroho, Arifin S. (2016). "Soekarno dan Diplomasi Indonesia". Jurnal Sejarah dan Budaya. Purwokerto. 125-130

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun