Motif dari pelaku KDRT
Masyarakat Indonesia mempercayai bahwa pria atau laki – laki sebagai suami selalu mendapatkan tempat pada posisi pertama dalam keluarganya dan wanita selalu menjadi urutan yang kedua, sehingga para pria tersebut dipercaya untuk memiliki kekuasaan dalam lingkungan rumah tangganya. Dari kepercayaan tersebut, lahirlah suatu keyakinan di budaya masyarakat Indonesia bahwa tidak ada yang berhak memiliki kekuasaan dalam rumah tangga, kecuali laki – laki atau suami sebagai kepala rumah tangga.Â
Secara psikologis, KDRT diyakini terjadi karena adanya masalah internal yang mempengaruhi pelaku, yaitu kondisi psikis dan kepribadian pelaku. Tipologi pelaku KDRT pria oleh Holtzworth-Munroe dan Stuart (1994), dimana dijelaskan ada 3 tipe pelaku:Â
1) pelaku kekerasan hanya dalam keluarga (family only). Kekerasan yang mereka lakukan biasanya adalah: kekerasan emosional dan seksual pada pasangannya. Biasanya mereka tidak menunjukkan ciri-ciri psikopatologi, namun jika gejala patologis muncul biasanya adalah gejala kepribadian pasif-tergantung (passive-dependent).Â
2) pelaku kekerasan disforia/ambang (dysphoric/borderline). Melakukan KDRT pada tingkat menengah hingga berat pada pasangan mereka, termasuk kekerasan psikis serta seksual. Mereka menunjukkan perilaku kekerasan di luar keluarga, seperti: agresi dengan orang lain di sekitarnya, serta perilaku kriminal. Mereka juga menunjukkan beberapa gejala depresi, frustasi dan sangat mudah terpancing emosinya, serta  menunjukkan perilaku atau pernah berurusan dengan penyalahgunaan zat.Â
3) pelaku kekerasan secara umum atau antisosial (antisocial). Melakukan kekerasan baik di luar keluarga serta pada anggota keluarganya sendiri. Mereka juga melakukan kejahatan di masyarakat dan kemungkinan besar memiliki gangguan kepribadian antisosial dan narsisistik.Â
Jadi banyak sekali faktor kekerasan yang dapat diulik, salah satunya dilatarbelakangi oleh relasi kuasa yang tidak terselesaikan hingga terjadi tindakan penganiayaan terhadap istri. Relasi kuasa pelaku kekerasan dalam rumah tangga umumnya adalah persepsi bias gender, sebagai salah satu bentuk budaya patriaki yang masih berlaku di Indonesia.
Dampak psikologis kepada korban
1. Â Anak
Anak-anak dalam keluarga yang dipenuhi kekerasan adalah anak yang rentan dan berada dalam bahaya, karena kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut:
- Anak akan sulit mengembangkan perasaan tentram, ketenangan dan kasih sayang. Hidupnya selalu diwarnai kebingungan, ketegangan, ketakutan, kemarahan, dan ketidakjelasan tentang masa depan. Mereka tidak belajar bagaimana mencintai secara tulus, serta menyelesaikan konflik dan perbedaan dengan cara yang sehat.Â
- Anak-anak yang biasa hidup dalam kekerasan akan belajar bahwa kekerasan adalah cara penyelesaian masalah yang wajar, boleh, bahkan mungkin seharusnya dilakukan. Anak lelaki dapat berkembang menjadi lelaki dewasa yang juga menganiaya istri dan anaknya, dan anak perempuan dapat saja menjadi perempuan dewasa yang kembali terjebak sebagai korban kekerasan. Anak perempuan dapat pula mengembangkan kebiasaan agresi dalam menyelesaikan masalah.
2. Istri