Mohon tunggu...
Farah Hsnafzyh
Farah Hsnafzyh Mohon Tunggu... Mahasiswa

Komunikasi dan Penyiaran Islam

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Panik di Ambang Dewasa: Ketika Ekspetasi Tertabrak Realita

21 Juni 2025   08:55 Diperbarui: 21 Juni 2025   19:10 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa yang akan berperan, kalau bukan mereka yang peduli?

Di sinilah peran Public Relations (PR) dibutuhkan. Bukan hanya sebagai juru bicara institusi, tapi sebagai penghubung rasa. PR yang baik harus bisa menghadirkan ruang dengar, ruang dukung, dan ruang refleksi bagi publik yang sedang lelah, khususnya generasi muda yang tengah mencari pegangan di tengah ketidakpastian.
Unggahan ini mewakili perasaan jutaan anak muda lainnya yang mengalami hal serupa yang terjebak dalam kebingungan, merasa sendiri, dan bingung harus mulai dari mana. Mereka tidak hanya mencari solusi instan, hanya butuh didengar, ditemani, dan diyakinkan bahwa krisis ini bukan akhir dari segalanya.
Kedua kisah ini menunjukkan bahwa QLC bukan cuma keresahan pribadi, tapi juga krisis kolektif. Di sinilah peran Public Relations menjadi penting untuk menghadirkan ruang dengar, ruang dukung, dan ruang penyadaran di tengah sunyinya pemahaman sosial terhadap tekanan emosional anak muda.

Dalam menghadapi krisis seperti Quarter Life Crisis, peran Public Relations (PR) bukan sekadar membuat kampanye atau menyebar informasi. Lebih dari itu, PR harus mampu menjadi penghubung antara lembaga dengan publik dan di sinilah pentingnya Two-Way Symmetrical Model. Model ini dikenalkan oleh James E. Grunig, seorang tokoh terkemuka dalam dunia kehumasan modern. Ia menjelaskan bahwa PR seharusnya tidak hanya "mengabarkan", tapi juga "mendengarkan". Artinya, komunikasi yang dibangun harus dua arah dan seimbang: organisasi menyampaikan pesan, tapi juga terbuka terhadap kritik, saran, dan suara publik yang terdampak.
Menurut Grunig, "The most ethical and effective public relations is based on dialogue, not monologue." (Komunikasi PR yang paling etis dan efektif adalah yang berbasis dialog, bukan monolog.) James Grunig, dalam Excellence in Public Relations and Communication Management (1992).
Model ini sangat relevan ketika menghadapi keresahan Gen Z soal masa depan.

 PR yang menjalankan komunikasi dua arah akan:

1. membuka ruang diskusi soal kesehatan mental,
2. mengajak mahasiswa, anak muda, dan komunitas bicara langsung tentang tantangan mereka,
3. Dan kemudian menyesuaikan program serta kebijakan berdasarkan masukan itu.

Pendekatan ini dapat kita lihat dalam langkah yang dilakukan oleh Universitas Indonesia (UI), Sebagai salah satu kampus terbesar di Indonesia, pernah menjadi sorotan karena tingginya tekanan mental yang dialami mahasiswanya. Menyadari hal ini, pihak kampus melalui divisi Humas dan Direktorat Kemahasiswaan meluncurkan upaya PR yang cukup strategis dan responsif.

Memperingati Hari Kesehatan Mental Sedunia pada Oktober 2023, UI menginisiasi gerakan bersama sejumlah pihak internal mulai dari Klinik Satelit Makara, Fakultas Psikologi, BEM, hingga alumni lewat ILUNI untuk merespons isu kesehatan mental secara lebih serius. Layanan konseling psikologis gratis, Pelatihan konselor sebaya, Seminar edukatif seputar kesehatan mental, Kampanye media sosial bertajuk "Your Mental Health Matters".

Kemudian, pada awal 2024, kampus ini melanjutkan inisiatif tersebut melalui program "UI Sehat Mental", yang digagas oleh BEM Fakultas Psikologi. Kegiatannya meliputi: Kelas daring tentang self-healing dan manajemen waktu, Talkshow bersama alumni yang pernah gagal kuliah namun bangkit, Kolaborasi dengan figur kampus untuk menyuarakan bahwa "gagal itu manusiawi".

Strategi ini mencerminkan Image Restoration Theory dari William Benoit yakni upaya pemulihan reputasi lembaga dengan cara yang jujur dan solutif. UI memilih untuk terbuka terhadap masalah, bukan menyembunyikannya, dan menjadikan PR sebagai jembatan komunikasi yang empatik.

PR: Lebih dari Sekadar Humas

Di tengah hiruk-pikuk dunia yang cepat dan penuh tuntutan, PR bisa menjadi ruang aman: ruang untuk mendengar, merespons, dan membangun harapan baru. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun