Bahasa kiasan dalam Al-Qur'an bukan sekadar permainan kata, tapi jendela untuk melatih hati dan akal agar mau merenung lebih dalam.
Perumpamaan itu seperti pintu yang tidak terbuka bagi siapa saja, melainkan hanya bagi mereka yang mengetuknya dengan kesungguhan.
Yang sekadar lewat akan melihatnya sebagai kata biasa, tapi yang mau berhenti, menundukkan ego, dan mencari makna, akan berkata: "Iya juga ya..."
Allah tidak menurunkan seluruh firman-Nya dalam bentuk literal, karena hidup ini sendiri tidak selalu hitam-putih.
Ada ruang untuk tafakkur, ada celah bagi kita untuk berlatih memahami hikmah.
Semakin kita merenung, semakin sadar bahwa kita hanyalah makhluk yang terbatas, sedang Dia yang tak terbatas sedang mengajak kita naik kelas---dari sekadar membaca kata menjadi memahami makna.
Perumpamaan itu ibarat cermin: ia tidak memberi jawaban langsung, tapi memantulkan realitas kita sendiri.
Dari situlah kesadaran lahir.
Bahwa sebagai manusia, kita tidak ada apa-apanya.
Bahwa di balik kata yang samar, ada cahaya yang hanya bisa ditangkap oleh hati yang jernih.
Dan barangkali itulah kenapa sebagian firman-Nya disampaikan dengan bahasa kiasan---agar kita belajar rendah hati, terus mencari, dan tidak berhenti hanya di permukaan.