Mohon tunggu...
FANNY SHAFITRI
FANNY SHAFITRI Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Pelaporan RKO dalam Implementasi Pengadaan Obat Online di Era Jaminan Kesehatan Nasional

24 Desember 2018   02:53 Diperbarui: 24 Desember 2018   03:08 1547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Secara regulasi pengelolaan obat melalui beberapa tahapan yaitu : tahapan  penyusunan rencana kebutuhan obat, tahap pengadaan obat, pembelajaan obat, kemudian yang terakhir dilakukannya monitoring dan evaluasi .

Kementerian Kesehatan dalam rangka melaksanakan UU SJSN dan UU Kesehatan, membentuk TIM Formas yang bertugas menyusun  Formularium Nasional (FORNAS), yaitu berupa dokumen yang mencantumkan daftar obat terpilih dan terjamin dalam program JKN. Dari Fornas ini Kementerian Kesehatan menyusun Rencana Kebutuhan Obat (RKO) yang mencantumkan jumlah kebutuhan obat di Faskes untuk 1 tahun. 

Dilanjutkan dengan penyusunan harga obat dengan Hitungan Sendiri (HPS) oleh Tim Harga Obat. Hasil kerja dari Tim Harga Obat kemudian dilanjutkan ke LKPP untu proses pengadaan dengan e-catalogue obat dan kemudian LKPP melakukan lelang dan negosiasi. Hasil lelang dengan e-catalogue tersebut disampaikan ke semua Faskes untuk belanja obat sebagai pemenuhan kebutuhan Faskes.


Berdasarkan Permenkes No. 63 Tahun 2014 Pasal 3 ayat 1 dikatakan bahwa, seluruh satuan kerja di bidang kesehatan baik Pusat maupun Daerah dan FKTP atau FKRTL Pemerintah melaksanakan pengadaan obat melalui E-Purchasing berdasarkan Katalog Elektronik (e-catalogue) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Selama kurang lebih 4 tahun sejak ditetapkannya Permenkes tersebut, masih banyak kendala implementasi pengadaan obat dengan e-purchasing melalui katalog elektronik (e-catalogue) salah satunya dalam pelaporan Rencana Kebutuhan Obat (RKO).


Belum semua satuan kinerja atau Faskes di bidang kesehatan melaporkan RKO kepada Kementerian Kesehatan. Menurut data Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan pada tahun 2016 penyampaian RKO di Faskes Pemerintah sebanyak 52%, Swasta 2%, dan Apotik PRB 15%. (Chazali, 2017).  Sedangkan pada tahun 2017 Faskes pemerintah maupun swasta yang belum melaporkan RKO sebanyak 1387 atau 46,23% dari total seluruh satuan kerja. Selama tahun 2018 Faskes pemerintah maupun swasta yang belum melaporkan RKO sebanyak 884 atau 28.31% dari total satuan kerja. Dari data yang diperoleh ternyata tidak semua Dinkes maupun Faskes (RS dan Apotik) yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan melaporkan RKO kepada Kementerian Kesehatan sebagai dasar pengadaan obat. (Wijaya, 2018)


Disamping itu data RKO belum tersambung dengan e-catalogue, sehingga Faskes yang tidak melaporkan RKO masih dapat belanja obat di e-catalogue, karena belum ada sanksi tertulis dan tegas bagi Faskes yang tidak melaporkan RKO. Hal ini berpotensi menimbulkan kekosongan obat tertentu karena overload dalam pemesanan dan berakibat pada industri farmasi yang mengalami over capacity dalam produksinya. Atau dapat terjadi kelebihan stok obat tertentu yang tadinya masuk dalam RKO tetapi kemudian tidak dibeli sesuai dengan rencana sehingga berakibat kerugian untuk industry farmasi yang terlanjur memproduksikan obat hasil lelang dalam jumlah besar.


Realisasi belanja obat pada e-catalogue tahun 2016 menurut KPK melampaui jauh dari data RKO yang hanya mencapai 30-40%. Padahal RKO ini yang menjadi acuan Kementerian Kesehatan dalam penentuan jenis obat dan jumlah obat yang akan dilelangkan. Mekanisme pengadaan obat melalui e-catalogue juga terjadi keterlambatan dan lemahnya aplikasi e-catalogue sehingga tidak ada notifikasi status pemesanan dan stok barang.

 Akibatnya persentase belanja obat Faskes di e-catalogue kurang dari 70%. Meskipun telah dibuatnya e-monev pada tahun 2016 tetapi tidak dapat mengatasi ketidakakuratan RKO karena sosialisasi dan penggunaan yang belum optimal. Di samping itu dari penjelasan di atas, dapat terlihat bahwa pelaporan realisasi belanja obat melalui e-monev dilakukan dalam aplikasi terpisah dari pelaksanaan belanja obat e-catalogue. Sehingga dapat dikatakan bahwa, keberhasilan e-monev sangat bergantung kepada komitmen Falkes dalam melaporkan RKO secara berkala.


Dalam permasalahan ini, KPK memberikan saran agar mekanisme penyusunan dan RKO dan validasinya dapat sesuai sehingga dapat menjadi  data yang akurat. Kemudian monev perlu dioptimalkan dan harus adanya follow-up yang terukur dan harus tegas dalam mengeluarkan suatu aturan dan harus konsisten bahwa akses belanja obat di e-catalogue hanya untuk Falkes yang sudah melaporkan RKO nya kepada Kementerian Kesehatan. Dengan ditingkatkannya pengawasan dan penegasan aturan semoga kedepannya pelaporan RKO dapat berjalan sebagaimana mestinya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun