Mohon tunggu...
Fanni Carmila
Fanni Carmila Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumahtanga. Mantan wartawan. Wiraswasta. Hobi mengarang

Asyik kalau bisa berkomunikasi dengan orang yang punya hobi sama.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kisah Semangkok Bubur

10 Mei 2023   13:09 Diperbarui: 10 Mei 2023   13:20 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

Serpihan kisah hidupku bisa kurangkai lewat semangkok bubur.

Bubur pertama yang kuakrabi adalah bubur buatan ayahku yang dimasak memakai panci aluminium bertangkai panjang.

Papa bukan penggemar masak. Ia termasuk orang yang tidak telaten melakukannya. Caranya membuat bubur cukup serampangan, dimana ia hanya mengambil beberapa sendok nasi dari dandang. Lalu menyiramnya dengan sejumput air. Kemudian dijerang diatas kompor.  Hanya butuh beberapa menit kemudian bubur itupun siap disantapnya.

Seringkali bila hendak berangkat ke sekolah aku mendapati meja makan kosong. Hanya ada bubur buatan ayahku dipadukan dengan telor dadar yang dipotong memanjang seperti mie sebagai lauknya. Jadi aku terpaksa menyantap itu bersama ayah ketimbang berangkat ke sekolah dengan perut kosong. Walaupun rasanya seperti sedang menelan jerami. Sayang ia tidak pernah menyadari betapa kacaunya dia dalam dunia masak-memasak.

Ia sering mengamatiku secara cermat menyeruput bubur kreasinya. Mungkin mengharapkan sepotong pujian. Namun aku tidak tidak pernah mengomentari masakannya. Termasuk mengecam telor buatannya yang terlalu asin. Meskipun ayah berkilah itu cocok dipadukan dengan buburnya yang tak berbumbu.
Demikianlah aku mengakrabkan diri bersama ayah lewat semangkok bubur hingga mencapai usia belasan tahun. Situasi itu berakhir setelah aku lulus dari SMA dan pergi kuliah ke Bandung.


Setelah ayah meninggal aku merasa begitu kehilangan momen tersebut; menyantap bubur paling tidak enak yang pernah kunikmati. Bubur hambar buatan lelaki yang menanggung rasa kesepian nyaris sepanjang hidupnya.

Bubur terenak yang pernah kunikmati justru dibuat oleh nenekku; wanita tradisional yang paling profesional dalam mengelola rumahtangganya.

Nenek lahir dan tumbuh menjadi gadis di sebuah kampung kumuh di daratan Cina. Ia hijrah ke Indonesia mengikuti kakekku awal tahun 1930. Tinggal di desa Kalibagor, tak jauh dari Purwokerto, membantu kakekku yang waktu itu membuka warung sembako, tidak jauh dari pabrik gula milik orang Belanda di situ.
Setelah ayah lahir mereka pindah ke Purwokerto.

Setiap Sabtu aku menginap di rumah nenek yang hanya berjarak sekitar 300 meter dari rumahku. Karena besoknya adalah hari libur. Tujuanku cuma satu: ingin mengikuti ritualnya memasak bubur ayam.

Menjelang subuh aku terbangun tatkala mencium aroma harum rebusan ayam diatas tungku arang. Bahan dasar untuk membuat bubur.  Tak lama kemudian nenek mengangkat seekor ayam yang gemuk dan masih utuh dari kuali yang terbuat dari tembikar. Dengan tangkas memotongnya menjadi beberapa bagian. Lantas ia sajikan diatas mangkok yang sudah dialasi saos kecap asin yang sudah dibubuhi bawang dan jahe goreng. Menyuruhku meletakkannya di meja makan.

Aku selalu membantunya dengan sangat bersemangat. Meskipun menimbulkan siksaan tersendiri. Bau rebusan ayam itu menggelitik perutku yang lapar dan menuntut secepatnya diisi. Sayangnya acara sarapan pagi bersama seluruh saudara dan sepupuku baru akan dimulai jam 7 pagi, kala rumah nenek diserbu cucu-cucunya yang rakus dan kelaparan.

Semangkok bubur panas dan lembut dengan pendamping ayam rebus itu sungguh sajian tak terlupakan, yang mengisi relung kalbu dan kubawa jauh hingga aku dewasa dan menjadi seorang ibu.
                                                                 
                                                               ***

Sayangnya aku belum pernah melihat ibu memasak bubur sepanjang hidupku. Kurasa ini disebabkan ia menyimpan mimpi buruk masa lalunya di situ.
Ibu lahir di distrik Meixian yang masuk propinsi Guangdong daratan Tiongkok, tepatnya tahun 1934. Menjelang pertengahan tahun 1945 an terjadi revolusi yang dipimpin Mao Ze Tung bersama partai komunis, Kung Chang Tang. Tujuannya mengangkat harkat hidup kaum petani dan menumpas kelompok Borjuis yang terwakili para tuan tanah dan kaum pedagang.  

Orangtua ibu memiliki kios kecil yang membuka usaha Tailor serta pemilik dua bidang tanah di kampungnya. Masuk kriteria kelompok borjuis yang layak dijadikan korban revolusi. Maka kedua orang tuanya pun ditangkap  dan dimasukkan ke penjara untuk menjalani kerja paksa selama beberapa tahun.

Saat itu usia Ibu 11 tahun. Ia merupakan putri sulung yang mempunyai enam orang adik. Harus memikul tanggung jawab menghidupi mereka. Setiap pagi ia mengajak adik tertuanya pergi ke hutan mengumpulkan kayu bakar.  Memikulnya hingga sejauh  10 km pergi ke kota untuk ditukarkan dengan segenggam beras. 

Setiba di rumah sore hari beras tersebut dimasak dengan sepanci air, menjadi bubur encer untuk disantap keluarganya.
Jadi di mata ibu bubur adalah makanan yang membangkitkan kenangan buruk masa kanak-kanak yang ingin dia hapus dari lembaran hidup.

Tahun ini usia ibu 89 tahun. Dua tahun yang lalu ia terkena stroke. Berkat penanganan intensif dokter dan bantuan fisiotherapy akhirnya kondisi fisiknya berhasil dipulihkan. Namun memorinya jadi sangat pendek. Kecuali itu ia juga menderita Demensia yang cukup parah.

Sebenarnya sudah beberapa tahun sebelumnya gigi ibu tanggal satu demi satu sebagai salah satu efek dari penyakit Diabetes yang dideritanya puluhan tahun tanpa sikap disiplin dalam proses pengobatannya. Namun ia menolak memasang gigi palsu. Alasannya " kurang nyaman ". Tatkala pendengarannya kian memburuk ia juga tidak mau menggunakan alat bantu dengar, sehingga menghambat kemampuannya berkomunikasi.

Sayangnya ia tidak mau belajar menyesuaikan diri dengan kondisi fisiknya yang memburuk dan lingkungan sekitarnya. Karena berpendapat semua orang wajib belajar memahami dirinya. Semenjak lahir aku belajar memahami sosok ibuku yang sangat "Egocentris" tersebut.  Yang menghendaki dunia berputar sesuai yang diinginkannya.

Akibat "trauma kemiskinan" ibu sulit memerdekakan diri dari jeratan masa lalunya yang kelam.  Ada arus kuat dalam dirinya untuk menyesap kenikmatan hidup sebanyak yang bisa diraihnya. Hasrat itu tertahan tatkala ia masih tinggal bersama kedua mertuanya yang tradisional, dan cukup keras mengontrol kehidupan keluarga putra sulungnya, yaitu ayahku.  

Semenjak kelahiranku ayah bisa membeli rumah dan keluar dari kungkungan orangtua. Semenjak saat itulah ibu seperti mendapat napas baru, napas kebebasan. Ia secara impulsif memenuhi nafsu tersebut dan mulai menjalin kekariban dengan sekelompok wanita yang punya waktu luang menikmati hidup. Dari sanalah ia memupuk kebiasaannya berjudi. Itu dilakukannya setiap siang, seusai anak-anak pulang sekolah. Acap kali hingga larut malam.  Ayahku yang berkarakter lemah adalah korban pertama ketidakpedulian ibu dalam mengurus rumahtangga, menyusul kami anak-anaknya.

Aku menjadikan ibuku sebagai sosok "Anti-hero" yang sangat mempengaruhi perkembangan kepribadianku. Terutama sebagai seorang istri dan ibu. Lalu mencoba membangun diri menjadi figur anti-tesis dirinya. Tidak mau melakukan apa yang sudah mendarah-daging pada dirinya, misalnya berjudi. Serta melakukan apa yang tidak pernah dia lakukan, diantaranya memasak bubur.

Setelah hampir semua giginya tanggal, ibu tidak mempunyai pilihan lain dalam menerima asupan gizi dan makanan, kecuali berupa cairan yang tidak perlu dikunyah tatkala menyantapnya.

Aku mencoba menunjukkan perhatian terhadap wanita yang telah melahirkanku tersebut melalui semangkok bubur yang berusaha kumasak secara serius. Mengikuti jejak nenek. Untuk memperkaya rasa kutambahkan makanan pendamping dengan harapan mampu membangkitkan selera makan ibuku. Misalnya tahu fermentasi atau asinan hati babi. Keduanya termasuk makanan kesukaan beliau semasa muda.

Setiap minggu pagi sepulang dari gereja kuajak suami mengunjunginya sambil membawa termos berisi bubur panas. Menyerahkannya ke salah satu dari dua orang perawat yang secara bergilir menjaganya. Beberapa kali mencoba, hasilnya mengecewakan. Ibu menolak menyantap bubur kirimanku dengan berbagai dalih. Terlalu asin, keenceran, kasar dan beragam alasan lainnya.

Pada dasarnya aku secara genetik mewarisi sifat kekerasan-kepalaan ibu. Meski hampir putusasa namun tidak mau menyerah.
Buburku ternyata tak seenak buatan nenek. Mungkin karena kami punya perbedaan motivasi tatkala memasaknya.

Nenek adalah wanita yang sangat berdedikasi untuk keluarga. Ia memusatkan seluruh aktivitas hariannya di dapur. Berusaha memasak semua yang terbaik bagi kelangsungan dan kesejahteraan hidup suami, anak-anak dan para cucunya. Itulah yang menyebabkan sajiannya selalu enak.

Sementara aku menjadikan proses memasak bubur sebagai alat katarsis. Guna melampiaskan kemarahanku yang terpendam terhadap ibu; yang mencapai puncaknya ketika ayah meninggal. Niat utamaku adalah untuk menunjukkan kepada wanita itu, betapa aku mampu melakukan apapun jauh lebih baik ketimbang dirinya. Termasuk memasak bubur.

Hari demi hari pun berlalu. Aku masih mengunjungi ibuku secara rutin. Terkadang hanya untuk memandangi tubuhnya yang renta terbaring lunglai di kursi goyang. Bila kesadarannya sedang baik kami mampu berkomunikasi, kendati hanya satu dua patah kata. Tatapannya terasa kosong. Membuat perasaanku menjadi getir. Meskipun yakin, ia sangat mengenaliku sebagai putrinya, namun ia sering lupa kepada suami maupun kedua anakku.

Aku membutuhkan nasib baik yang mudah-mudahan mampu memperbaiki jalinan komunikasi diantara kami berdua. Terutama sebelum beliau meninggal. Rupanya itu terwujud tak berapa lama kemudian.

Aku ingat saat itu kota kelahiranku diguyur gerimis rinai sedari subuh. Suasana pagi terlihat murung tanpa sentuhan sang mentari. Rumah ibu nampak lengang, karena memang hanya dihuninya bersama kedua perawat serta seorang asisten rumahtangga.

Kulihat ibu duduk di kursi goyang dengan tatapan kosong tertuju ke televisi yang menampilkan Channel CCTV berbahasa Mandarin.  Kudekati dia dengan mangkok bubur, siap kusuapkan kepadanya.

Tiba-tiba ia mengalihkan pandangannya kepadaku, lalu mengulurkan tangannya yang dingin, membelai pipiku. Sejenak aku terpaku.

"Putriku, selama ini aku sudah merepotkanmu," katanya. Sebuah kalimat cukup panjang yang jarang dicetuskannya semenjak terserang stroke.
Aku menggeleng, terserang efek kejut hingga kehilangan kata-kata.

"Buburmu enak sekali," ia mengacungkan jempolnya berulang kali. " Aku tidak bisa masak seperti itu."

Ia membuatku gemetar. Kurasakan hatiku yang membatu seketika meleleh, mengirimkan arus hangat ke sekujur tubuh. Dengan spontan kudaratkan kecupan bertubi-tubi ke pipinya. Sesuatu yang sangat ingin kulakukan semenjak kanak-kanak, namun tertunda oleh jauhnya rentang emosi diantara kami.  Itulah salah satu penyebab ketidakmampuanku meluapkan perasaan melalui kontak fisik.  Aku canggung ketika harus mengekspresikan kedekatanku dengan seseorang melalui pelukan atau ciuman.

Ledakan emosiku berhasil menjungkit sisi kelam perasaan ibu yang selama ini terkubur begitu dalam, yang membuatnya menyerupai sesosok boneka jerami di tengah sawah. Tanpa roh.

Lalu ia bertanya lagi, "Kamu masih suka menulis?" sambil menangkupkan jempol dan telunjuknya, seperti memegang pensil.
Tatapannya luruh dan utuh tertuju kepadaku.

Aku mengangguk dalam-dalam, menangkap binar matanya yang memancarkan kehangatan dan kedekatan.

Ia mengirimkanku kembali ke kenangan masa lalu, saat usiaku sembilan tahun. Tak seperti kawan sebaya, benda yang kuidamkan ketika itu bukanlah boneka atau perangkat masak-memasak; melainkan sebuah buku harian. Setiap pulang sekolah aku sengaja singgah ke toko Intan, salah satu pelopor Toserba di kota kami. Di etalase terpajang sebuah buku bersampul beludru merah bertuliskan "Diary".  Aku begitu mengidamkan buku tersebut sehingga memberanikan diri mengungkapkan hasratku kepada ibu.

Diluar dugaan ibu memenuhi permintaanku seraya berpesan agar aku mau menuliskan semua pikiran dan perasaanku kedalam buku tersebut. Inilah awal berseminya semangat dalam diriku untuk menulis.

Semenjak saat itu hingga usia remaja aku mulai membiasakan diri menumpahkan segenap perasaanku ke dalam buku tersebut. Termasuk kejengkelanku terhadap ibuku yang jarang sekali berada di rumah mendampingi kami.

Menjelang masuk SMA ibu kembali memberikan dukungannya terhadap kegemaranku menulis dengan membelikanku mesin tik merek Brother. Alat ini kujadikan sarana mengemas karya tulisku secara lebih rapi, serta mengirimkannya ke sejumlah media cetak.

Didera pendaman amarah dan kekecewaan yang tak terekspresikan secara wajar semua kebaikan ibu terhadapku seolah terpupus dari ingatan, bagai debu tersiram hujan.

Hujan masih mengguyur cukup deras tatkala aku berdiri di halaman rumah ibu guna melarutkan perasaanku yang menggelora, menyesap menembus relung batin. Disekap rasa haru kurasakan pelupuk mataku mengembung, tertimpa uap hujan bercampur isak. Sadar, ternyata selama ini aku sebenarnya begitu mencintai wanita yang telah melahirkanku tersebut; begitu mendambakan kehadirannya seutuhnya dalam hidupku. Namun yang kulakukan justru menutup rapat pintu batin menolak segala kemungkinan guna memperbaiki hubungan kami. Itu disebabkan keangkuhanku yang tidak mau mengakui, betapa pentingnya ibu dalam hidupku. Kini aku merasa seperti anak hilang yang ingin kembali masuk kedalam pelukan ibuku.  

Seiring bergulirnya waktu aku masih melaksanakan ritual memasak semangkok bubur bagi ibuku. Meskipun kesadarannya hilang-timbul kini ia tidak pernah lagi menolak menyeruput buburku. Aku tahu dengan adanya motivasi baru dalam memasak, buburku menjadi lebih lembut dan ringan untuk disantap.
Melalui semangkok bubur aku belajar menata kembali hidupku. Mengakrabkan diri dengan pertalian nasib yang telah menyebabkan aku terlahir dari rahim ibuku, dan berusaha mensyukuri karunia tersebut (fan.c)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun