Mohon tunggu...
Fanni Carmila
Fanni Carmila Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumahtanga. Mantan wartawan. Wiraswasta. Hobi mengarang

Asyik kalau bisa berkomunikasi dengan orang yang punya hobi sama.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kisah Semangkok Bubur

10 Mei 2023   13:09 Diperbarui: 10 Mei 2023   13:20 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

Aku menjadikan ibuku sebagai sosok "Anti-hero" yang sangat mempengaruhi perkembangan kepribadianku. Terutama sebagai seorang istri dan ibu. Lalu mencoba membangun diri menjadi figur anti-tesis dirinya. Tidak mau melakukan apa yang sudah mendarah-daging pada dirinya, misalnya berjudi. Serta melakukan apa yang tidak pernah dia lakukan, diantaranya memasak bubur.

Setelah hampir semua giginya tanggal, ibu tidak mempunyai pilihan lain dalam menerima asupan gizi dan makanan, kecuali berupa cairan yang tidak perlu dikunyah tatkala menyantapnya.

Aku mencoba menunjukkan perhatian terhadap wanita yang telah melahirkanku tersebut melalui semangkok bubur yang berusaha kumasak secara serius. Mengikuti jejak nenek. Untuk memperkaya rasa kutambahkan makanan pendamping dengan harapan mampu membangkitkan selera makan ibuku. Misalnya tahu fermentasi atau asinan hati babi. Keduanya termasuk makanan kesukaan beliau semasa muda.

Setiap minggu pagi sepulang dari gereja kuajak suami mengunjunginya sambil membawa termos berisi bubur panas. Menyerahkannya ke salah satu dari dua orang perawat yang secara bergilir menjaganya. Beberapa kali mencoba, hasilnya mengecewakan. Ibu menolak menyantap bubur kirimanku dengan berbagai dalih. Terlalu asin, keenceran, kasar dan beragam alasan lainnya.

Pada dasarnya aku secara genetik mewarisi sifat kekerasan-kepalaan ibu. Meski hampir putusasa namun tidak mau menyerah.
Buburku ternyata tak seenak buatan nenek. Mungkin karena kami punya perbedaan motivasi tatkala memasaknya.

Nenek adalah wanita yang sangat berdedikasi untuk keluarga. Ia memusatkan seluruh aktivitas hariannya di dapur. Berusaha memasak semua yang terbaik bagi kelangsungan dan kesejahteraan hidup suami, anak-anak dan para cucunya. Itulah yang menyebabkan sajiannya selalu enak.

Sementara aku menjadikan proses memasak bubur sebagai alat katarsis. Guna melampiaskan kemarahanku yang terpendam terhadap ibu; yang mencapai puncaknya ketika ayah meninggal. Niat utamaku adalah untuk menunjukkan kepada wanita itu, betapa aku mampu melakukan apapun jauh lebih baik ketimbang dirinya. Termasuk memasak bubur.

Hari demi hari pun berlalu. Aku masih mengunjungi ibuku secara rutin. Terkadang hanya untuk memandangi tubuhnya yang renta terbaring lunglai di kursi goyang. Bila kesadarannya sedang baik kami mampu berkomunikasi, kendati hanya satu dua patah kata. Tatapannya terasa kosong. Membuat perasaanku menjadi getir. Meskipun yakin, ia sangat mengenaliku sebagai putrinya, namun ia sering lupa kepada suami maupun kedua anakku.

Aku membutuhkan nasib baik yang mudah-mudahan mampu memperbaiki jalinan komunikasi diantara kami berdua. Terutama sebelum beliau meninggal. Rupanya itu terwujud tak berapa lama kemudian.

Aku ingat saat itu kota kelahiranku diguyur gerimis rinai sedari subuh. Suasana pagi terlihat murung tanpa sentuhan sang mentari. Rumah ibu nampak lengang, karena memang hanya dihuninya bersama kedua perawat serta seorang asisten rumahtangga.

Kulihat ibu duduk di kursi goyang dengan tatapan kosong tertuju ke televisi yang menampilkan Channel CCTV berbahasa Mandarin.  Kudekati dia dengan mangkok bubur, siap kusuapkan kepadanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun