Didera pendaman amarah dan kekecewaan yang tak terekspresikan secara wajar semua kebaikan ibu terhadapku seolah terpupus dari ingatan, bagai debu tersiram hujan.
Hujan masih mengguyur cukup deras tatkala aku berdiri di halaman rumah ibu guna melarutkan perasaanku yang menggelora, menyesap menembus relung batin. Disekap rasa haru kurasakan pelupuk mataku mengembung, tertimpa uap hujan bercampur isak. Sadar, ternyata selama ini aku sebenarnya begitu mencintai wanita yang telah melahirkanku tersebut; begitu mendambakan kehadirannya seutuhnya dalam hidupku. Namun yang kulakukan justru menutup rapat pintu batin menolak segala kemungkinan guna memperbaiki hubungan kami. Itu disebabkan keangkuhanku yang tidak mau mengakui, betapa pentingnya ibu dalam hidupku. Kini aku merasa seperti anak hilang yang ingin kembali masuk kedalam pelukan ibuku. Â
Seiring bergulirnya waktu aku masih melaksanakan ritual memasak semangkok bubur bagi ibuku. Meskipun kesadarannya hilang-timbul kini ia tidak pernah lagi menolak menyeruput buburku. Aku tahu dengan adanya motivasi baru dalam memasak, buburku menjadi lebih lembut dan ringan untuk disantap.
Melalui semangkok bubur aku belajar menata kembali hidupku. Mengakrabkan diri dengan pertalian nasib yang telah menyebabkan aku terlahir dari rahim ibuku, dan berusaha mensyukuri karunia tersebut (fan.c)