Mohon tunggu...
Fanni Carmila
Fanni Carmila Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumahtanga. Mantan wartawan. Wiraswasta. Hobi mengarang

Asyik kalau bisa berkomunikasi dengan orang yang punya hobi sama.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Peony Musim Gugur

16 September 2022   03:33 Diperbarui: 16 September 2022   03:44 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Musim gugur tahun ini datang lebih awal dibanding sebelumnya. Ditandai dengan rontoknya bunga-bunga Peony yang menghiasi taman kompleks perumahan marga Chan.  Dalam sekejap permukaan tanah dipenuhi beragam warna kelopak bunga yang jatuh.  Merah, putih, kuning dan ungu. Membangkitkan gairahku menikmati musim melalui caraku yang fantastis.
Angin musim tiba di bulan September mengandung uap air yang pekat dan dingin. Permukaan taman yang ditumbuhi rumput Peking  dihiasi beragam kelopak bunga Peony berbaur dengan guguran dedaunan. Membentuk permadani alami yang menggairahkan pandangan.
Kubaringkan tubuh di rerumputan sambil mengarahkan tatapan ke langit yang membentangkan warna awan biru berbaur dengan kabut putih semu kekuningan. Membentuk tirai guna melembutkan sinar matahari yang biasanya menyengat.
Aku hampir saja terbuai oleh kantuk tatkala merasakan sepasang tangan yang kokoh mencengkeram dan menggoncang bahuku.
Tatkala membuka mataku dengan enggan nampak wajah paman Kim yang sangat kuakrabi berada begitu dekat dengan wajahku. Aku bisa merasakan bau napasnya yang segar menerpa pipiku.
Aku spontan terlonjak bangun. Kurangkapkan tangan memeluk dadanya yang bidang dan kokoh.
Ia menerima pelukanku secara responsif. Menarik tubuhku hingga berdiri.
"Gadis bodoh!" Keluhnya sambil mengusap rambutku yang terurai. " engkau bisa kena demam berbaring di situ."
"Aku sedang memandangi para bidadari menari di angkasa untuk menyambut musim gugur." Aku membual sambil memperagakan gerakan tari dengan jari-jariku yang panjang dan pipih. Menggunakan sudut mata meliriknya sambil tersenyum.
Seketika wajah paman dipenuhi semburat merah. Terbawa suasana riang yang kuciptakan untuk menyambut kepulangannya dari Guang Chou.
Ia tiba di rumah setelah tiga bulan pergi memimpin rombongan musafir yang membawa sepuluh kereta berisi beragam karya seni tembikar dan keramik produksi perusahaan keluarga.
"Aku ingin tahu hadiah apa yang paman bawa untukku kali ini," rayuku sambil melingkarkan tanganku ke pinggangnya. Kami berpelukan berjalan masuk ke rumah.
Ia tersenyum. Menunduk memandangku.
"Aku tidak akan memberitahumu," ujarnya menggoda.
Spontan kudorong tubuhnya. Membelalak dengan ekspresi jengkel.
"Aku tidak akan mempedulikanmu lagi." Seruku sambil berjalan mendahuluinya menuju ruang keluarga.

Aku punya tujuh orang kakak. Semuanya perempuan. Jadi aku adalah putri bungsu. Satu-satunya yang bukan anak kandung Amaku, istri utama ayahku.
Empat kakakku sudah menikah. Mereka tinggal di propinsi lain mengikuti suami masing-masing. Jadi di rumah kini tinggal kami bertiga bersama Amaku dan belasan pelayan. Suasana tempat tinggal kami mirip harem karena ketiadaan figur lelaki di situ.
Ayahku tinggal di paviliun lain. Memiliki dunianya sendiri sebagai seorang pecandu opium. Aku hampir tidak pernah bertemu dengannya semenjak lahir.
Paman Kim adalah satu-satunya lelaki yang kehadirannya menyemarakkan suasana keluarga kami yang biasanya hening dan dingin.
Seperti biasa kemunculanku di ruang keluarga selalu disambut dengan sikap dengki para saudariku. Mereka jengkel karena aku jarang berdiam diri di rumah. Tapi lebih senang menghabiskan hari dengan berkeliaran di taman. Memetik bunga, mengejar kupu-kupu. Atau berbaring di rerumputan sambil mengagumi langit beserta awan yang menebarkan lukisan alam yang indah beraneka ragam.
"Entah kapan Mei Mei bisa belajar menjadi gadis terhormat tidak berkeliaran di luar bersama para budak dan pelayan." Kakak kelima sengaja melontarkan serangannya terhadapku dengan suara meninggi. Berharap ama akan menghardikku. Namun beliau tidak menanggapi. Melambaikan tangan, menyuruhku duduk di sebelahnya.
Kami menikmati jamuan makan siang yang dipenuhi  lauk-pauk dalam keheningan.

Sumber konflik dalam keluargaku -terutama antar saudara- berasal dari kaki. Sedari umur tiga tahunan semua saudaraku harus mengalami penyiksaan pembebatan kaki. Dibawah pengawasan ama setiap malam jari-jari kaki mereka dililit dengan kain panjang  yang dicelupkan kedalam rempah-rempah yang menimbulkan sensasi panas luar biasa. Kecuali jempol semua jari kaki mereka sengaja ditekuk dan dipatahkan. Juga tulang telapak. Proses ini dilakukan selama bertahun-tahun, hingga kaki mereka berkerut dan mengecil. Ukurannya tidak lebih panjang dari 4 inchi.
Aku tidak tahu alasannya, mengapa ama membebaskanku dari proses penyiksaan tersebut. Namun semua saudaraku berpendapat itu karena aku bukan anak kandung amaku. Tapi cuma anak budak yang dipungut oleh ama. Menurut mereka aku tidak layak mempunyai kaki lotus yang biasanya dimiliki putri bangsawan.
Kelak dengan kaki lebar aku hanya pantas dinikahkan dengan anak petani dan peternak babi. Aku bakal diharuskan ikut membantu membajak sawah atau membersihkan kotoran babi. Itu yang selalu dilontarkan para saudariku seraya memandang kakiku yang panjang dengan perasaan jijik.
Sesungguhnya pendapat mereka tidak terlalu berpengaruh terhadap diriku. Bentuk kaki mereka yang besarnya tak lebih dari genggaman tangan pada dasarnya sangat mengekang. Karena tidak bisa bebas berjalan dan berlarian kian kemari. Setiap kali ingin melangkah mereka harus dipapah oleh dayang pribadi masing-masing.
Kaki lotus  terbentuk sempurna ketika mereka umur dua belas tahunan.  Semenjak saat itu kegiatan sehari-hari mereka hanya duduk menyulam atau bergunjing. Seraya memamerkan bentuk kaki siapa yang lebih kecil. Biasanya sambil bersaing menunjukkan sepatu kain mereka yang bersulam sangat indah.

Perasaan para saudariku terhadapku sangat kompleks. Paduan rasa merendahkan sekaligus iri terhadap keleluasaanku untuk bergerak, berjalan bahkan berlari kian-kemari. Mereka tidak menyetujui sikap ama terhadapku yang dianggap memanjakan dan membiarkan aku tumbuh tanpa terikat tradisi kaum bangsawan yang ketat dan serba tertata. Mereka juga iri terhadap kedekatan hubunganku dengan paman Kim. Menurutku paman yang hingga usianya hampir empat puluh tahun dan tak kunjung berkeluarga itu mempunyai perhatian khusus terhadapku.
Siang itu - setelah makan siang bersama - paman memberiku sebotol parfum beraroma rumpun pagi yang dibelinya di pasar Shanghai.
Hadiah itu ditempelkan ke sepasang telapak tanganku sambil berbisik penuh intrik.
"Aku hanya khusus memberikannya kepadamu."
Pandangannya yang lekat perlahan menyusut. Menundukkan kepala dengan muram.
"Ibumu dulu sangat menyukai aroma itu. Ia sering mengajakku berjalan pagi dengan cuping hidung mengembang. Menghirup bau rumput yang tertiup angin."
Aku membalas sikapnya yang berkabut  dengan pandangan kosong. Karena aku sesungguhnya tidak begitu mengenal sosok wanita yang melahirkanku tersebut. Bagiku ibu adalah ama yang merawat dan mencurahkan perhatiannya secara khusus terhadapku. Bahkan acap kali mengundang kecemburuan para saudaraku terhadapku.
Kubiarkan paman kembali ke paviliun pribadinya untuk beristirahat setelah melakukan perjalanan bisnis yang panjang dan melelahkan demi menunjang pengeluaran keluarga Chan yang boros.
                                                                   
                                                                     ***

Pertengahan musim gugur ditandai perubahan warna daun-daun Maple jadi kecoklatan. Sementara angin selatan bertiup kencang menghembuskan butiran-butiran air yang membuat udara terasa dingin dan lembab. Tanaman Peony di halaman rumah kami meranggas. Berubah jadi batang kayu kering mengenaskan. Kehilangan daun maupun bunga-bunganya.
Amaku yang terserang demam musiman itu terbujur luruh di dekat pendiangan dalam kamarnya yang luas dan mewah. Dihiasi beragam lukisan, kaligrafi maupun tembikar dinasti Song yang menyiratkan selera wanita bangsawan berkelas. Namun tak mampu mengangkat suasana muram didalam kamar yang hangat tersebut.
Kondisi ama memprihatinkan. Mirip tanaman Peony di musim gugur. Telah lama ia kehilangan pesona kewanitaannya. Terabaikan dan kesepian. Karena sudah belasan tahun tak pernah lagi dikunjungi ayahku yang memiliki dunianya sendiri.
Menurut ama ayah menjadi seperti itu semenjak ibuku meninggal disaat melahirkanku. Ia disekap rasa sesal dan bersalah tanpa aku mengerti pangkal penyebabnya.
Semakin tumbuh besar konon penampilanku makin mirip ibuku. Itulah sebabnya ayah sering mempelototiku bagaikan melihat hantu ibu. Ama bersikeras melarangku bertemu ayah. Ia tidak ingin kemunculanku membuat kesintingan ayah kumat. Berteriak-teriak atau menangis membabi-buta. Suatu ketika ia pernah meraung-raung  berlutut di hadapanku sambil memohon ampun.
Kejadian itu menghantui benakku. Misteri apa yang menyelimuti keluarga ini sebenarnya?

Aku sedang menemani ama yang kambuh penyakit demam musimannya, tatkala kisah tentang ibuku yang tragis mulai tersingkap. Selapis demi selapis. Ia menuturkannya sembari mengusap-usap kepalaku yang saat itu kuletakkan di peraduannya. Mencoba menemaninya, agar penderitaan dan kesepiannya bisa berkurang.
Aku tidak mengenal ibu kandungku. Karena semenjak aku lahir amalah yang merawat dan membesarkanku. Dia pula yang menjadi ibu susuku.
"Ibumu adalah budakku. Diberikan keluargaku semenjak ia berumur sembilan tahun." Ama menuturkan sambil menjulurkan tangannya yang gemuk berkeriput berhiaskan gelang giok berwarna ungu kepadaku. Giok berkualitas utama yang hanya layak dikenakan perempuan bangsawan.
Aku menangkap tangan yang tidak lagi memiliki daya chi tersebut. Kuremas berulang kali guna menyalurkan kehangatan suhu tubuhku ke telapaknya yang dingin dan lembab. Tangan yang begitu halus tanpa guratan otot-otot. Menandakan ia tak pernah melakukan pekerjaan kasar sepanjang hidupnya.
"Saat itu aku sudah melahirkan keempat putriku." Kurasakan napasnya yang pendek-pendek berbalut kepedihan. "Sebagai putra sulung ayahmu mulai gelisah. Takut garis keturunannya terputus karena hingga saat itu belum juga mempunyai seorang putra."          

Sebenarnya keluarga Chan masih punya anak lelaki, yaitu paman Kim yang mulai menginjak usia dewasa. Sayang ia kurang mencerminkan karakter seorang putra bangsawan. Sepanjang hari asyik berkeliaran di perkampungan budak. Bergaul dan bermain dengan mereka.
"Salah satu teman bermainnya adalah budakku yang mulai tumbuh menjadi gadis kecil yang cantik dan periang."
Ama menelan ludah berkali-kali. Sulit mencerna kenyataan, bahwa suatu saat ia bisa saja kehilangan budak kesayangannya gara-gara ulah paman Kim yang makin berani menunjukkan hasratnya untuk menjadikan gadis itu sebagai tunangannya secara resmi. Budak itu bahkan bisa mengancam kedudukannya sebagai kepala rumahtangga bila setelah dinikahi paman Kim bisa melahirkan seorang putra.
Apalagi tak lama kemudian ama kembali melahirkan putri kelima dan keenamnya. Kelahiran demi kelahiran yang melelahkan dan nyaris membuatnya putusasa. Hal itu mencapai puncaknya tatkala putri ketujuhnya lahir menjelang usianya yang keempat puluh tahun. Suami dan keluarga besarnya tidak tahan lagi. Mendesaknya mencarikan wanita lain untuk dijadikan selir.
Niat liciknya timbul. Ia merasa ancaman terhadap kedudukannya - baik sebagai istri maupun kepala rumahtangga - bakal terselamatkan dengan cara mempersembahkan budak cantiknya untuk sang suami. Sekaligus memupus niat paman Kim merebut dan menikahinya secara resmi. Gadis belia yang sehat itu bakal mempersembahkan seorang putra bagi keluarga Chan!
Maka ia sengaja mencekoki budaknya dengan minuman keras hingga tidak sadarkan diri. Lalu mengirimkannya ke ranjang  suaminya.
Tindakan itu ia ulangi beberapa kali hingga sang budak hamil.
Suatu pagi di musim gugur ibu melahirkanku. Demi mengetahui anak yang dilahirkan adalah perempuan ibu sadar ia tidak lagi punya harapan untuk menyelamatkan masa depannya dan putrinya. Tidak mungkin keluarga Chan sudi mengakui putri seorang budak hasil perkosaan. Ia harus menciptakan posisi tawar-menawar yang menguntungkan demi sang anak.
Ibu lantas mengerat urat nadinya sendiri menggunakan bilah bambu yang baru saja digunakan untuk memotong tali pusar sang bayi.
Sebelum ajal ia berpesan kepada ama agar memperlakukan putrinya baik-baik. Ibu bersumpah arwahnya bakal merecoki keluarga Chan bila permintaannya tidak dikabulkan. Sementara keluarga itu berkeyakinan arwah orang yang meninggal secara tidak wajar punya kekuatan gaib untuk membalas dendam.

Tubuh ama menggigil. Ia kembali meremas-remas tanganku dengan gelisah.
Aku menunduk sambil membuang muka. Tak sanggup mencerna kenyataan.
"Mendiang ibumu juga berpesan aku tidak boleh membebat kakimu. Ia ingin kamu tumbuh menjadi gadis moderen yang berpendidikan, " ujarnya dengan napas tersengal-sengal.
" aku berusaha menebus semua kesalahan kami terhadapnya dengan merawatmu sebaik mungkin," bisiknya. Tatapannya hampa, minta dikasihani.

Aku masih duduk termenung di sisi peraduan ama. Membiarkan ia menumpahkan seluruh timbunan rasa bersalah yang telah merengut kebahagiaan hidupnya.
"Saat itu aku sebenarnya masih punya kesempatan menyelamatkan nyawanya. Namun itu tak kulakukan. Kubiarkan ia tewas kehabisan darah."
Sampai di sini pertahanan emosionalku runtuh.  Aku balas menatap wajah Amaku dengan pandangan kabur.  Dadaku sesak didera oleh kemarahan dan penyesalan. Sulit menelan kenyataan betapa tragis hidupku yang harus ditebus oleh nyawa ibu kandungku.
Masih berdiri di sisi peraduan dengan kaki tertekuk kulihat ama menangis meraung-raung mohon pengampunan kepada mendiang ibu.
" aku sudah melakukan segalanya untuk menebus kesalahanku padamu Mei-meiku. Ampunilah aku. Jangan ganggu hidup kami." Ama gagal berperang melawan hati nuraninya sendiri yang menjerembapkannya ke lembah kegelapan.
Ia menarik-narik tanganku. Namun aku tidak mampu menimpali reaksinya. Perasaanku membeku bersama cuaca dingin menjelang akhir musim gugur.

Memasuki musim dingin paman Kim mulai mempersiapkan armadanya untuk kembali melakukan perjalanan berniaga nya. Ia berencana menukar barang-barang tembikar produksi pabrik keluarga Chan dengan kain sutra, kasmir dan wol untuk dijual di musim dingin.
Dibawah siulan angin selatan yang menghembuskan butiran-butiran salju aku berlari menembus buruknya cuaca pergi mengunjungi paviliunnya.
Paman menyambut kedatanganku dengan rona wajah sembab. Ia tengah asyik membuat tulisan kaligrafi. Gerakan tangannya mantap dan persisi. Aku lari mendekati dan melingkarkan tanganku dari balik punggungnya. Memeluknya.
Bagiku dialah satu-satunya lelaki di dunia yang paling mencintaiku. Rela menyekap rasa rindu dan kehilangan atas kepergian ibu hingga kini. Tidak tergerak membuka hatinya bagi perempuan lain.
Dari kekasih ibuku inilah aku belajar menyusun mozaik hidupku yang berantakan akibat penuturan ama tentang ibu kandungku.  
Paman paham yang kurasakan.
" mari kita belajar berdamai dengan masa lalu," katanya mengakhiri keasyikannya.
Mengajakku ke dekat perapian sambil membawa perangkat minum teh.
Kulihat paman Menaburkan bubuk arang ke tungku kecil untuk menjerang teh. Gerakannya trampil. Mencerminkan lelaki berperadaban tinggi yang paham menjalankan ritual minum teh. Digunakannya seduhan teh pertama untuk menyiram cawan.  Itu dilakukannya beberapa kali sebelum memberikan cawan pertama  yang siap direguk kepadaku.
" menyelami hidup ibarat menyesap secangkir teh," ujarnya sambil mengambil cawannya dan menghirup aroma asap yang menguar dari permukaan cawan. Pandangannya lekat kepadaku.
" terasa pahit pada kecapan pertama," lanjutnya. " sampai semuanya mengendap di indra perasamu. Lantas engkau akan merasakan sensasi kenikmatan dan keindahan tatkala cawanmu kosong."
Aku membalas tatapannya dengan bengong. Sedikit pun tak mampu menyerap apa yang diungkapkannya.
"Akulah yang pergi menguburkan jenazah ibumu yang telah membeku."
Paman mengungkapkan dalam ekspresi lara sambil menyeruput tehnya perlahan. Menarik napas dan meluruhkan tatapannya terhadapku.
"Ia mati dan dibuang begitu saja oleh keluarga Chan. Wanita yang begitu kucintai." Bisiknya lirih mengandung kepedihan mendalam.
Paman kembali menghirup cawan kedua.
"Bertahun-tahun aku belajar mengampuni kakak dan iparku atas tindakan mereka terhadap ibumu. Perasaanku melunak melihat amamu memperlakukanmu dengan layak semenjak kelahiranmu. Merawatmu bagai putri kandung sendiri." Ia menghela napas panjang.
"Ibumu yang malang rela memberikan rasa cintanya kepadamu dengan bayaran nyawanya sendiri." Paman menandaskan.
Aku menunduk. Berusaha menyerap penuturan paman tentang sosok ibu kandungku dengan baik. Sayang hasilnya kabur.
"Aku berjanji akan membantumu mempersatukan seluruh kenangan tentang ibumu dengan mempersiapkan hari depan yang lebih menjanjikan untuk hidupmu."  Tekadnya sambil melingkarkan tangannya yang kokoh ke bahuku. Mengakhiri acara minum teh kami di akhir musim gugur.

Paman memenuhi janjinya setelah musim dingin berakhir.
Ia pulang dari berniaga sambil membawa kabar baik bagiku. Menurutnya  awal musim gugur tahun berikutnya ia akan mengajakku ke Shanghai. Di sana ia telah mencarikanku sebuah sekolah berasrama putri. Aku bisa mengikuti pendidikan moderen yang diselenggarakan pemerintah bagi kaum perempuan. Agar kami bisa tercerabut dari kungkungan tradisi yang menyesakkan. Menyongsong hidup baru sejajar dengan kaum lelaki. Selaras dengan kehendak ibuku yang ingin aku tumbuh menjadi gadis terpelajar dan mandiri (fan.c)P E O N Y    M U S I M    G U G U R

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun