Mohon tunggu...
Fani Velenia
Fani Velenia Mohon Tunggu... | Content Writer | Bachelor of German Language Education

|Setiap kata yang ditulis adalah langkah menuju revolusi pikiran| IG: @fanivalenia

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Highlight Reel vs Real Life: Kenapa Kita Harus Lebih Bijak Bermedia Sosial

18 Juni 2025   19:56 Diperbarui: 19 Juni 2025   09:00 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Aplikasi Sosial Media Sumber: Pexel.com/ indra projects

Sosial media tuh emang tempat buat pamer versi terbaik diri kita. Scroll dikit di Instagram, langsung lihat temen liburan ke Bali, ikut konser luar negeri, atau baru aja launching bisnis baru. Tapi yang kita lihat itu cuma highlight reel---cuplikan momen-momen paling keren. Di balik itu, siapa yang tahu perjuangan, stres, atau drama hidup mereka?

Masalahnya, kita jadi sering mikir, "Kok hidup gue gini-gini aja ya?" Padahal, semua orang punya masalah, cuma nggak semua orang ngepost masalah-nya. Sosmed bikin standar hidup orang jadi terlihat tinggi banget, sampai-sampai kita merasa hidup kita kurang seru, kurang keren, bahkan kurang berarti.

Kita jadi terjebak sama dunia penuh editan, filter, dan caption motivasi yang kadang nggak sesuai kenyataan. Yang tadinya mau berbagi cerita, jadi ajang adu pencitraan. Sosial media berubah jadi etalase, bukan tempat buat jadi diri sendiri.

1. Budaya Scroll-Scroll Bikin Minder

Kita semua pasti pernah ngerasain yang namanya comparison trap. Lagi santai, scroll TikTok, eh muncul video orang workout jam 5 pagi, abis itu sarapan sehat, terus kerja produktif seharian. Kita yang masih ngelamun di kasur langsung merasa gagal. Padahal belum tentu juga orang itu tiap hari begitu.

Tanpa sadar, kita jadi hobi ngebandingin hidup sendiri sama orang lain. Apalagi yang sering muncul di timeline biasanya ya yang "wah-wah". Liburan, dapet promosi, beli rumah---bikin kita mikir, "Gue kapan ya?" Kita lupa, apa yang kita lihat cuma secuil dari hidup mereka.

Masalahnya, makin sering ngebandingin, makin gampang insecure. Kita jadi ngerasa pencapaian kita nggak ada apa-apanya. Padahal semua orang punya waktu dan jalan masing-masing. Sosmed tuh sering bikin lupa kalau kita nggak harus hidup sesuai timeline orang lain.

2. Efek Samping: FOMO dan Overthinking Digital

Ilustrasi gambar sumber: Pexel.com/mikoto.raw 
Ilustrasi gambar sumber: Pexel.com/mikoto.raw 
FOMO alias Fear of Missing Out itu nyata banget. Kita lihat story temen-temen lagi kumpul, party, nonton konser, dan tiba-tiba muncul perasaan "Harusnya gue juga di sana." Padahal, kita mungkin emang butuh waktu sendiri atau lagi capek. Tapi otak kita langsung mikir kita ketinggalan momen.

Belum lagi rasa cemas karena ngerasa harus selalu update. "Aduh udah lama nggak nge-post, ntar dikira ngilang." Kita jadi ngerasa harus terus aktif, harus keliatan seru, harus tampil kece. Lama-lama capek juga sih hidup demi eksistensi online.

Kalau dibiarkan, sosial media bisa ganggu kesehatan mental. Kita jadi susah menikmati momen tanpa mikirin foto atau caption. Kita lupa hidup di dunia nyata juga butuh perhatian. Nggak semua hal harus diabadikan, apalagi demi konten.

3. Pencitraan Digital: Gimana Biar Tetap Relevan

Banyak orang sekarang ngerasa harus punya "brand pribadi" di sosial media. Harus selalu kelihatan keren, sibuk, bahagia. Upload foto harus pas, caption harus mikir banget, biar engagement naik. Tapi, sejujurnya, ini melelahkan banget.Kita jadi suka ngatur image supaya keliatan sesuai ekspektasi orang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun