Dengan begitu, majunya Gibran dan kandidat yang memiliki hubungan kekerabatan dengan elit politik lainnya dalam kontestasi pemilu tidak menyalahi nilai-nilai demokrasi. Mereka juga memiliki hak untuk mencalonkan diri dalam pemilu sebagaimana warga negara yang lain. Terbentuk atau tidaknya dinasti politik akibat majunya mereka di pemilu ditentukan oleh masyarakat itu sendiri. Maka, dapat disimpulkan bahwa terbentuknya dinasti politik merupakan konsekuensi dari sistem demokrasi yang memberikan hak yang sama kepada setiap warga negara, termasuk kerabat elit politik, dan menyerahkan kepemimpinan politik kepada masyarakat melalui mekanisme pemilu.
Referensi
Budiardjo, M. (2008). Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Didik Gunawan Suharto, Ismi Dwi Astuti Nurhaeni, Mantrini Indri Hapsari, Lungid Wicaksana. (2017). Pilkada, Politik Dinasti dan Korupsi. Konferensi Perkumpulan Dekan Ilmu-ilmu Sosial PTN Se-Indonesia (FISIP, FISIPOL, FIA, FIKOM dan STIA LAN), 30-49.
Effendi, W. R. (2018). Dinasti Politik dalam Pemerintahan Lokal Studi Kasus Dinasti Kota Banten. Jurnal Trias Politika, 98-113.
Prianto, B. (2016). Partai Politik, Fenomena Dinasti Politik dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Desentralisasi. Publisia, 105-117.
Susanti, M. H. (2017). Dinasti Politik dalam Pilkada di Indonesia. Journal of Government and Civil Society, 111-119.
Warta Ekonomi. (2020, Juli 30). Gibran Dinilai Dinasti Politik, Pengamat: Begitulah Indonesia. Diambil kembali dari Wartaekonomi.co.id: https://www.wartaekonomi.co.id/read297344/gibran-dinilai-dinasti-politik-pengamat-begitulah-indonesia