Mohon tunggu...
Rita Mf Jannah
Rita Mf Jannah Mohon Tunggu... Penulis Multitalenta, Pengamat Sosial, Pemerhati AI, Pelaku Pasar Modal

Penulis multidisipliner yang aktif menulis di ranah fiksi dan nonfiksi. Fokus tulisan meliputi pendidikan, politik, hukum, artificial intelligence, sastra, pengetahuan populer, dan kuliner. Menulis sebagai kemerdekaan berpikir, medium refleksi, ekspresi ilmiah, dan kontribusi budaya.

Selanjutnya

Tutup

Love

Ilfeel, Mati Rasa, dan Dinamika Psikologis dalam Hubungan Toksik

18 Agustus 2025   19:22 Diperbarui: 18 Agustus 2025   19:22 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pasangan ilfeel dan mati rasa dalam cinta (Sumber gambar: Meta AI)

Ilfeel dan mati rasa dalam hubungan toksik bukanlah aib atau tanda kelemahan, melainkan alarm biologis-psikologis bahwa jiwa sedang menolak keterpurukan lebih dalam

Fenomena ilfeel (hilangnya rasa nyaman/tertarik) dan mati rasa emosional sering kali muncul dalam hubungan yang bersifat toksik. 

Tulisan ini membahas bagaimana respons tersebut bukanlah tanda kelemahan atau kegagalan, melainkan mekanisme pertahanan diri (self-defense mechanism) yang sehat dari jiwa untuk menolak kondisi hubungan yang mengekang, merendahkan, atau tidak setara. 

Analisis dilakukan melalui perspektif psikologi relasional, teori trauma bonding, dan dinamika kebutuhan emosional manusia.

Pendahuluan

Cinta yang sehat bukan hanya tentang keintiman fisik, melainkan dukungan emosional, komunikasi, dan validasi identitas. 

Namun dalam beberapa hubungan, salah satu pihak bisa mengalami penolakan terhadap kebutuhannya, bahkan diremehkan. 

Hal ini dapat memicu perasaan ilfeel atau bahkan mati rasa. 

Pertanyaannya: apakah ini tanda kebosanan semata, ataukah justru alarm biologis-psikologis bahwa hubungan tersebut tidak lagi menyehatkan?

Metodologi

Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif-analitis dengan:

1.Teori psikologi relasional  menelaah kebutuhan dasar manusia akan validasi, dukungan, dan rasa dihargai.

2.Konsep trauma bonding (Dutton & Painter, 1993) memahami bagaimana orang bisa terikat dalam relasi yang sebenarnya tidak sehat.

3.Fenomenologi afektif  memaknai hilangnya rasa (mati rasa) sebagai sinyal protektif dari psikis.

Kajian Teoritik

1.Ilfeel sebagai sinyal biologis

*Ilfeel bukan sekadar "bosan" melainkan tanda bahwa tubuh dan psikis menolak untuk terus menanggung disonansi kognitif (menjalani sesuatu yang bertentangan dengan nilai dan kebutuhan).

*Sama halnya dengan tubuh menolak makanan basi, jiwa menolak relasi basi.

2.Mati rasa emosional

*Fenomena ini sering muncul ketika seseorang terlalu lama berada dalam hubungan yang tidak memberi timbal balik emosional.

*Menurut teori emotional numbing, jiwa secara otomatis menutup pintu rasa untuk melindungi individu dari luka lebih dalam (APA, 2013).

3.Hubungan toksik dan degradasi identitas

*Pasangan yang merendahkan, mengontrol, atau tidak menghargai minat (misalnya menulis) cenderung menciptakan power imbalance.

*Dalam kondisi ini, "mati rasa" menjadi bentuk perlawanan sunyi: hati menolak untuk terus mencintai orang yang tidak memelihara jiwa kita.

4.Paradigma cinta sehat

*Cinta sehat ditandai kehadiran penuh, resiprositas, dan ruang untuk tumbuh.

*Ketika pasangan tidak mampu menghadirkan itu, ilfeel adalah tanda bahwa psikis mendorong kita mencari bentuk cinta yang lebih sehat.

Ilfeel dan mati rasa dalam hubungan toksik bukanlah aib atau tanda kelemahan, melainkan alarm biologis-psikologis bahwa jiwa sedang menolak keterpurukan lebih dalam. 

Mekanisme ini seharusnya dibaca sebagai call for action --- bahwa individu perlu memilih apakah akan tetap bertahan dalam relasi merusak, ataukah berani mengupayakan kebebasan emosional untuk mencari cinta yang sehat.

Dengan demikian, "ilfeel dan mati rasa" adalah bukti kecerdasan jiwa, bukan kegagalan cinta.

Referensi

  • American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (5th ed.). APA Publishing.
  • Dutton, D. G., & Painter, S. (1993). Emotional attachments in abusive relationships: A test of traumatic bonding theory. Violence and Victims, 8(2), 105--120.
  • Johnson, S. (2004). The practice of emotionally focused couple therapy: Creating connection. Routledge.
  • Levine, A., & Heller, R. (2010). Attached: The new science of adult attachment and how it can help you find---and keep---love. TarcherPerigee.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun