Ketika Israel meminta pelucutan senjata tanpa memberi jaminan perlindungan nyata, itu bukan "perdamaian"---tapi kapitulasi dalam sistem kolonialisme militer
Gagalnya upaya gencatan senjata terbaru antara Hamas dan Israel di bulan Juli 2025 tidak dapat dilepaskan dari elemen paling mendasar dalam konflik Palestina-Israel: ketidakpercayaan struktural yang dibentuk oleh sejarah kekerasan, pelanggaran janji, dan pengingkaran hak asasi manusia.
Tulisan ini akan membedah secara ilmiah dan kritis mengapa permintaan Israel agar Hamas dilucuti senjatanya dianggap sebagai bentuk penyerahan total, serta mengapa Hamas menolaknya, terutama ketika rekam jejak perlakuan Israel terhadap tahanan Palestina menunjukkan praktik penyiksaan, penghilangan paksa, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.Â
Kajian ini menawarkan pembacaan ulang atas konsep "gencatan senjata" dalam konteks relasi kekuasaan timpang dan trauma kolonial modern.
Pendahuluan
Pertanyaan utama dari pembahasan ini adalah:Â Bisakah Israel dipercaya akan bersikap adil dan manusiawi jika Hamas menyerah?
Ini bukan semata pertanyaan strategis, melainkan eksistensial: menyangkut keberlanjutan hidup rakyat Gaza sebagai entitas politik dan biologis.Â
Gagalnya gencatan senjata Juli 2025 menunjukkan bahwa yang dipertaruhkan bukan hanya wilayah, melainkan nasib kolektif dan hak hidup suatu bangsa.
Permintaan Pelucutan Senjata dan Konsekuensinya
Dalam naskah gencatan senjata yang ditawarkan, salah satu tuntutan utama Israel adalah:Â "Pelucutan senjata penuh Hamas, dan penyerahan struktur militernya kepada otoritas keamanan yang diakui secara internasional."
Namun, dari sudut pandang kelompok bersenjata dan masyarakat Gaza:
*Ini bukan sekadar demiliterisasi, melainkan peniadaan alat pembelaan diri di tengah pendudukan yang masih aktif.
*Mereka menyamakan ini dengan "kembali menjadi pengungsi tanpa penjaga", seperti pasca Nakba 1948.
*Tidak ada jaminan Israel akan menghormati gencatan senjata---apalagi ketika tak ada aktor kuat yang memaksa Israel tunduk pada kesepakatan.
Rekam Jejak Israel: Pengkhianatan dan Kekejaman Terbukti
a. Pelanggaran Gencatan Senjata Sebelumnya
*Dalam gencatan senjata 2014 dan 2021, Israel tetap melakukan serangan udara ke Gaza dengan dalih "pencegahan".
*PBB mencatat lebih dari 70 pelanggaran sepihak oleh IDF dalam 18 bulan setelah
 gencatan 2021.
b. Penyiksaan Tahanan Palestina
*Laporan Human Rights Watch (2024) mencatat: "Tahanan sipil Palestina---termasuk perempuan, anak-anak, dan lansia---mengalami pemukulan brutal, penelanjangan, pelecehan seksual, dan pencabutan hak untuk makan/minum selama penahanan."
*Amnesty International (2023--2025) melaporkan bahwa: 83% tahanan mengalami penyiksaan berat, puluhan tewas di sel tanpa investigasi independen.
"Jika sipil diperlakukan seperti binatang, bagaimana lagi dengan pejuang bersenjata yang menyerah?"
--- Kesaksian warga Gaza, 2025
Trauma Historis: Dasar Penolakan Hamas
a. Ingatan Kolektif Warga Gaza
*Nakba 1948 dan eksodus massal menjadi narasi kolektif Palestina.
*Hamas---meski dianggap radikal oleh banyak negara---tetap merupakan simbol ketahanan dan martabat bagi sebagian besar rakyat Gaza yang merasa ditinggalkan dunia.
b. Ketakutan Rasional
Berdasarkan studi psikologis dan politik, Hamas menolak pelucutan senjata karena:
*Ketakutan sistemik akan pembantaian diam-diam.
*Tidak adanya kepercayaan pada sistem internasional yang lumpuh.
*Dendam struktural terhadap Zionisme sebagai ideologi eliminasi.
Relasi Kekuasaan Asimetris: Gencatan Senjata atau Penjajahan Terbuka?
Dalam analisis kritis relasi kekuasaan:
Parameter
Israel
Hamas
Kekuatan militer
Militer konvensional terkuat di kawasan, didukung AS
Gerilyawan lokal dengan roket rakitan
Dukungan internasional
Legal dan finansial dari AS, EU, dll
Dicap teroris oleh sebagian besar negara Barat
Infrastruktur
Sistem hukum, udara, laut, ekonomi terkendali
Terblokade, rusak total
Posisi diplomatik
Negara sah
Entitas non-negara
Kesimpulan:
Ketika Israel meminta pelucutan senjata tanpa memberi jaminan perlindungan nyata, itu bukan "perdamaian"---tapi kapitulasi dalam sistem kolonialisme militer.
Apa Solusi Nyata?
Untuk menjembatani dua posisi ini, diperlukan:
1.Jaminan internasional terhadap HAM warga Gaza, pasca-pelucutan senjata.
2.Pengawasan langsung PBB atas implementasi gencatan senjata.
3.Pengadilan kejahatan perang terhadap semua pelaku---dari kedua belah pihak.
4.Pengakuan kemerdekaan politik Palestina sebagai jalan akhir.
Hamas tidak menolak damai. Mereka menolak menyerahkan nasib rakyat Gaza kepada musuh yang telah terbukti berkali-kali menghancurkan janji. Menyerah tanpa senjata adalah jalan menuju penghapusan kolektif, bukan kedamaian.
Israel, di sisi lain, tidak bersedia menyetujui gencatan tanpa penghancuran total musuhnya. Di balik retorika "keamanan", tersimpan mimpi kolonial tentang Gaza tanpa Palestina.
Referensi
- Amnesty International. (2025). Annual Human Rights Report: State of Palestine. London: Amnesty Publications.
- Human Rights Watch. (2024). Torture and Ill-Treatment of Palestinian Detainees. New York: HRW.
- UN Human Rights Council. (2023). Special Rapporteur Report on the Occupied Palestinian Territories. Geneva: United Nations.
- Khalidi, R. (2020). The Hundred Years' War on Palestine. New York: Metropolitan Books.
- Papp, I. (2006). The Ethnic Cleansing of Palestine. Oxford: Oneworld Publications.
- Bishara, M. (2022). Palestine: Matters of Truth and Justice. Doha: Al Jazeera Centre for Studies.
- Shlaim, A. (2009). Israel and Palestine: Reappraisals, Revisions, Refutations. London: Verso.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI